






Study with the several resources on Docsity
Earn points by helping other students or get them with a premium plan
Prepare for your exams
Study with the several resources on Docsity
Earn points to download
Earn points by helping other students or get them with a premium plan
Community
Ask the community for help and clear up your study doubts
Discover the best universities in your country according to Docsity users
Free resources
Download our free guides on studying techniques, anxiety management strategies, and thesis advice from Docsity tutors
Perkembangan Indikator Pembangunan dan Pengawasan Pembangunan
Typology: Slides
1 / 11
This page cannot be seen from the preview
Don't miss anything!
Bella Rifaldi^1 ,2^ dan Hisae Uchiyama^2
I. Pendahuluan
Tolok ukur pembangunan, dalam lingkup global, telah mengalami perkembangan yang signifikan selama beberapa dekade terakhir. Pada era setelah Perang Dunia ke-2, diskusi pembangunan terfokus pada aspek modernisasi dan permasalahan pertumbuhan ekonomi. Namun, seiring berkembangnya zaman dan diadopsinya berbagai disiplin ilmu sosial (selain ekonomi) ke dalam diskusi tersebut, fokus diskusi pembangunan perlahan-lahan bergeser, dan diikuti dengan munculnya indikator yang mempertimbangkan permasalahan pembangunan manusia. Hal tersebut memicu berkembangnya tolok ukur pembangunan yang bersifat multidimensi, yang ikut mempengaruhi aktor-aktor pembangunan, seperti pemerintah dan pengambil kebijakan lainnya terkait pembangunan.
Pemerintah merupakan aktor pembangunan yang memiliki peran signifikan, terutama karena kekuatan dan legitimasi yang dimilikinya dalam mempengaruhi aspek kehidupan masyarakat. Cukup banyak perdebatan mengenai sejauh mana peran pemerintah dalam melakukan intervensi sosial dan ekonomi; dan kedua sisi argumen, baik yang mendukung peran pemerintah yang dominan maupun minimalis, sama-sama memiliki dukungan logika akademik yang memadai. Dalam konteks pembangunan, pemerintah berpotensi menjadi penentu efektivitas manajemen pembangunan, dan hal ini termasuk jika dilihat dari kedua kutub berlawanan terkait intensitas peran pemerintah.
Evolusi indikator pembangunan dan spektrum peran pemerintah dalam pembangunan akan mempengaruhi implementasi rencana pembangunan dan termasuk di dalamnya dimensi pengawasan pembangunan. Perspektif pengawasan pembangunan akan perlu menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi agar mampu memberikan informasi yang tepat guna bagi para pengambil kebijakan. Potensi implikasi penggunaan informasi mengenai dimensi pembangunan manusia dan kapabilitas Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) sempat dibahas dalam Riyanto ( 2015 ). Makalah ini akan mendiskusikan lebih lanjut mengenai perubahan tolok ukur pembangunan, peran negara dalam manajemen pembangunan, dan potensi implikasi kedua hal tersebut terhadap aktivitas pengawasan pembangunan, termasuk dalam konteks audit internal pemerintah.
II. Pembahasan
A. Indikator pembangunan dalam diskursus global
Jenis indikator pembangunan dalam diskursus pembangunan global dapat diklasifikasikan menjadi dua: indikator unidimensi dan indikator multidimensi. Indikator unidimensi mengutamakan pertumbuhan ekonomi sebagai tujuan pembangunan, dan menggunakan indikator yang umum digunakan di seluruh bagian dunia sebagai tolok ukur pertumbuhan ekonomi, yaitu Produk Domestik Bruto/ Gross Domestic Product (selanjutnya disebut GDP). Di sisi lain, indikator multidimensi mengakui bahwa pembangunan tidak semata-mata pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pembangunan manusia, dan karenanya memandang perlu pengukuran faktor-faktor lain yang berkontribusi terhadap perkembangan kualitas kehidupan manusia. Indikator multidimensi yang akan dibahas di sini adalah Indeks Pembangunan
Manusia/ Human Development Index (selanjutnya disebut HDI) dan Millennium Development Goals (selanjutnya disebut MDGs).
Meskipun GDP hanya dapat menangkap makna pembangunan melalui lensa yang terbatas, yaitu ekonomi, penggunaan GDP sebagai indikator pembangunan masih sangat populer. Dalam buku teks ekonomi pembangunan yang banyak menjadi acuan, Todaro (2014, hal.17) mendefinisikan GDP sebagai “ the total of final output of goods and services produced by the country”s economy, within the country”s territory, by residents and non residents, regardless of its allocation between domestic and foreign claims ”, atau secara sederhana dapat didefinisikan sebagai jumlah keluaran barang dan jasa yang diproduksi dalam suatu negara, baik oleh warga negara tersebut maupun warga negara asing. Penekanan lingkup GDP adalah pada lingkup geografis, untuk mengukur aktivitas ekonomi dalam batas-batas suatu negara. Ini untuk membedakan dengan Pendapatan Nasional Bruto/ Gross National Income , yang juga mengukur aktivitas ekonomi/keluaran barang dan jasa, tetapi dengan penekanan pada lingkup kewarganegaraan, tanpa mempedulikan keluaran tersebut dihasilkan di dalam negara tersebut atau negara lain. Lingkup geografis dipandang lebih relevan dalam mempengaruhi penyusunan kebijakan yang akan mempengaruhi pihak-pihak yang melakukan aktivitas ekonomi. Itulah sebabnya, dalam perspektif praktik, American Bureau of Economic Analysis (2014, hal.1) berpendapat bahwa GDP merupakan indikator statistik ekonomi yang paling banyak diamati dan digunakan oleh politisi dan pengambil kebijakan untuk menyusun anggaran, merumuskan kebijakan fiskal dan moneter, atau mempersiapkan proyeksi kinerja ekonomi.
Sejarah penggunaan indikator GDP yang panjang (lebih dari 70 tahun!) mendemonstrasikan kekuatannya sebagai acuan aspek sosioekonomi yang diakui di seluruh dunia. Penggunaan GDP untuk mengukur kualitas ekonomi mungkin cukup jelas, tetapi selain itu GDP juga digunakan sebagai indikator kesejahteraan sosial. Salah satu alasan atas hal ini adalah karena negara-negara yang sekarang termasuk dalam kategori “negara maju” menapaki jalan serupa untuk meningkatkan ekonomi sebagai fondasi pembangunan aspek sosial masyarakat lainnya. Hal ini juga diakui organisasi pembangunan internasional, ketika World Bank berpendapat bahwa angka pertumbuhan GDP yang tinggi dapat pula meningkatkan aspek sosial seperti pendidikan, kesehatan, dan penanggulangan kemiskinan (Commission on Growth and Development, 2008).
Meskipun begitu, penggunaan GDP sebagai indikator kesejahteraan sosial bukanlah sesuatu yang dimaksudkan sejak awal, setidaknya menurut penciptanya sendiri, Simon Kuznets (1934, hal.7). Hal ini juga tercermin dalam analisis Anand dan Ravallion (1993) ketika mengamati korelasi pertumbuhan ekonomi, pengeluaran pemerintah, dan indikator kesehatan di Sri Lanka pada periode 1950-1960, di mana disimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah menjadi faktor yang mendukung penurunan angka kematian bayi, padahal pada periode yang sama hampir tidak ada kenaikan pada indikator GDP per kapita. Simpulan tersebut menekankan bahwa intervensi langsung pemerintah ke sektor kesehatan dapat memiliki dampak yang lebih signifikan dibandingkan memprioritaskan kebijakan untuk pertumbuhan ekonomi dengan harapan untuk meningkatkan pendapatan per kapita dan selanjutnya mempengaruhi angka kematian bayi.
Dalam perkembangan indikator pembangunan, banyak indikator baru yang disusun untuk membantu melengkapi kelemahan GDP dalam menjadi indikator kondisi sosial. Perkembangan tersebut juga diiringi dengan pergeseran paradigma pembangunan menjadi tidak hanya sekadar pertumbuhan ekonomi. Constanza et al. (2009), walaupun tetap mengakui penggunaan GDP sebagai salah satu acuan keberhasilan pembangunan, membagi
Selain HDI, terdapat juga indikator pembangunan lain yang berusaha menangkap informasi berdasarkan konsep pembangunan manusia, yaitu Millennium Development Goals (MDGs). MDGs menjabarkan target-target pembangunan untuk dicapai di tingkat global, dengan dibagi ke dalam 8 kelompok besar. MDGs disusun dengan merangkum hasil diskusi dalam Millennium Declaration pada tahun 2000 yang diikuti oleh 193 negara dan 23 organisasi internasional (United Nations, 2014). 8 kelompok target MDGs antara lain:
Kelompok target MDGs tersebut memiliki indikator-indikator tersendiri di tingkat yang lebih mendetail. Seluruh indikator dan kelompok target tersebut akan dievaluasi pada tahun 2015 dan akan digunakan untuk menyusun indikator dan target pembangunan global yang baru. Saat ini indikator dan target pembangunan yang baru sedang dalam proses penyusunan, dan dikenal dengan istilah Sustainable Development Goals (SDGs).
B. Peran pemerintah dalam manajemen pembangunan
Untuk mengeksplorasi peran pemerintah di dalam pelaksanaan pembangunan, perlu dilihat keberadaan pemerintah sebagai perwujudan negara dalam konteks sosial. Negara sendiri dapat didefinisikan sebagai “sebuah bentuk komunitas manusia yang memiliki hak dan kemampuan untuk menggunakan kekerasan fisik yang terlegitimasi di dalam suatu zona teritorial tertentu” (Weber, 2004). Pendapat lain mencoba mendefinisikan negara sebagai “aktor” yang memiliki “organisasi dan cara bertindak”, yang kemudian “menggunakan pengaruh yang dimilikinya secara independen untuk mengatasi konflik maupun hasil proses lainnya dalam masyarakat” (Martinussen, 1997, hal.222). Kedua definisi tersebut mendefinisikan negara sebagai sebuah entitas, menggambarkan kekuatan yang dimiliki oleh sebuah negara, dan menunjukkan bahwa negara dapat melakukan bermacam-macam hal yang mempengaruhi segala sesuatu dalam batas-batas teritorialnya. Pada praktiknya, penggunaan kekuatan negara dilakukan oleh sebuah bentuk pemerintahan yang diakui secara internal dan eksternal dari negara tersebut.
Sementara, manajemen pembangunan perlu didefinisikan secara holistik agar mampu menangkap konteks yang melingkupi proses pembangunan itu sendiri. Definisi “manajemen pembangunan” yang banyak disepakati sebagai definisi yang holistik adalah “manajemen atas intervensi dalam proses perubahan sosial di dalam konteks tujuan, tata nilai, dan motivasi yang saling berbenturan” (Thomas, 1996, hal.106). Definisi tersebut dijelaskan lebih lanjut dengan menjelaskan bahwa “orientasi perubahan sosial dimaksud adalah menuju perubahan yang progresif” (Thomas, 1999). Sementara itu, perlu dipahami bahwa aktor yang terlibat dalam pembangunan bukan hanya pemerintah. Willis (2011) membuat pengelompokan sederhana atas aktor pembangunan menjadi tujuh, yaitu: individu, rumah tangga, komunitas,
pemerintah, lembaga sosial masyarakat/LSM (atau non governmental organisations/NGOs ), sektor swasta, dan organisasi internasional.
Berdasarkan definisi manajemen pembangunan dan pengelompokan aktor pembangunan yang telah disebutkan, potensi kerumitan manajemen pembangunan dapat dilihat lebih jauh lagi. Karena pembangunan adalah sekumpulan proses intervensi yang dilakukan oleh bermacam-macam aktor dengan tujuan, tata nilai, dan motivasi masing-masing, manajemen pembangunan yang efektif harus mampu mempertimbangkan tindakan yang dilakukan oleh aktor-aktor lainnya dalam mencapai tujuan pembangunan masing-masing. Secara normatif, kondisi yang berpotensi menjadi kondisi ideal dalam manajemen pembangunan adalah ketika setiap aktor pembangunan dapat berinteraksi baik melalui konflik maupun kerja sama, dengan kemampuan yang memadai untuk bernegosiasi atas niat masing-masing, melalui sebuah ruang yang memungkinkan terjadinya perubahan. Kondisi tersebut mengarah pada sebuah proses yang bersifat partisipatif, tetapi desain yang ideal bukan berarti mengabaikan kemungkinan perencanaan yang terpusat, karena elemen yang paling esensial di sini adalah keberadaan “ruang yang memungkinkan terjadinya perubahan”.
Untuk pemerintah, aktivitas yang umum dilakukan adalah “mengelola kerangka pembangunan secara makro”, yang di banyak negara dilakukan secara bervariasi melalui peran yang “intervensionis” atau sebagai “regulator” (Willis, 2011, hal.27). Perbedaan antara “intervensionis” maupun “regulator” bukanlah sebuah perbedaan yang menuntut negara untuk memilih salah satu. Kenyataannya, peran negara kadang berubah-ubah antara “intervensionis” dan “regulator”, sesuai dengan konteks, kebutuhan, dan prioritas pembangunan yang dinamis. Sementara itu, dalam orientasi untuk mencapai perubahan sosial yang progresif, perlu ada acuan yang digunakan untuk mengukur progresivitas. Pada titik inilah indikator pembangunan menjadi penting, baik dari sisi pertumbuhan ekonomi maupun pembangunan manusia. Dihubungkan dengan dua jenis peran pemerintah, maka pemerintah dapat bertindak secara “intervensionis” maupun menjadi “regulator” untuk mencapai peningkatan GDP, HDI, maupun target MDGs sambil berinteraksi dengan aktor-aktor pembangunan lainnya.
Sepanjang sejarah, ada beberapa contoh di mana pemerintah mengambil posisi “intervensionis” untuk mendorong pembangunan, yang direfleksikan melalui pertumbuhan ekonomi, seperti yang dilakukan di Korea Selatan dan Brazil. Pada prinsipnya, pemerintah mengambil peran yang besar dalam pembangunan, dan bertanggung jawab atas banyak aktivitas ekonomi, sosial, maupun politik. Di Korea Selatan pada periode 1961-1979, memberlakukan beragam subsidi, membangun infrastruktur, dan melakukan beberapa kali devaluasi untuk mendorong ekspor (Kohli, 2004, hal.92-93). Seiring dengan itu, birokrasi juga berkembang karena kebutuhan pegawai yang meningkat, dan kendali pemerintah sangatlah luas. Hasilnya, Hsiao dan Hsiao (2003, hal.229-241) menunjukkan bahwa rasio pertumbuhan GDP per kapita merupakan salah satu yang tertinggi di dunia selama 1951- 1992, dengan indikasi bahwa “tinggal landas ekonomi” terjadi pada tahun 1960.
Di Brazil, pembangunan juga dilakukan dengan berpusat pada pemerintah, walaupun kesuksesan pembangunan Brazil dipandang berada dalam tingkatan yang berbeda dengan Korea Selatan. Intervensi pemerintah di Brazil dapat dilihat pada periode 1950-1990, ketika terjadi nasionalisasi perusahaan sektor transportasi kereta api, serta kebijakan perpajakan dan perdagangan yang mendorong ekspor (Kohli, 2004, hal.127). Selain itu, pemerintah memberlakukan peraturan terkait gaji buruh dan menjaganya pada tingkat yang rendah untuk mendorong perkembangan industri (Kohli, 2004, hal.201). Tindakan-tindakan tersebut dilakukan pemerintah dengan harapan mencapai pertumbuhan ekonomi yang dipicu oleh ekspor. Berdasarkan riset Hsiao dan Hsiao (2003, hal.231-233), pertumbuhan GDP per kapita
banyak negara di dunia, seperti Peru, Jamaika, Honduras, Cile, Nikaragua, Malawi, dan Zambia (Nigenda dan Gonzalez-Robledo, 2005). Program serupa juga sudah mulai diadaptasi sejak beberapa tahun lalu di Indonesia dengan nama Program Keluarga Harapan.
Contoh intervensi langsung oleh pemerintah lainnya dapat dilihat di Botswana terkait respon terhadap Human Immunodeficiency Virus / Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV/AIDS). Pada tahun 2000, HDI Botswana terkena dampak signifikan dari HIV/AIDS dan angka harapan hidup berkurang dari 64,2 tahun di 1990 menjadi 50,9 pada tahun 2000 (UNDP, 2000). Pemerintah memutuskan untuk memberikan antiretroviral (ARV) secara cuma-cuma bagi individu yang membutuhkan (UNAID, 2008). Dampak program tersebut selanjutnya akan perlu dianalisis dengan metodologi yang memadai untuk dapat memberikan kesimpulan mengenai kontribusinya terhadap tingkat HIV/AIDS dan angka harapan hidup di Botswana.
C. Implikasi terhadap pengawasan pembangunan
Aktivitas pemerintah dalam pembangunan, baik yang bersifat “intervensionis” maupun “regulator”, akan selalu melalui sebuah proses pengawasan tertentu. Pengawasan di sini sering juga dirujuk sebagai tahap “evaluasi” dalam sebuah siklus kebijakan, atau tahap “pemantauan” dalam sebuah siklus program. Selanjutnya, hal ini dapat dikaitkan dengan program pengawasan dan kompetensi pelaksana pengawasan. Dalam konteks pembangunan, pengawasan diharapkan memberikan informasi dan menjadi sarana deteksi atas kemajuan, efektivitas, dan capaian hasil dari sebuah program maupun aktivitas pembangunan yang dilakukan pemerintah. Woolcock (2007) menyebutkan kaitan deteksi dan pengawasan dengan tiga elemen, yaitu pengumpulan data, analisis, dan interpretasi. Tiga elemen tersebut pada akhirnya akan diolah menjadi suatu informasi yang relevan bagi pemerintah, baik di tingkat pelaksana maupun pengambil kebijakan.
Jika dikaitkan dengan pelaksanaan pengawasan pembangunan di Indonesia, maka akan terlihat kaitannya dengan pengawasan intern yang dilakukan oleh pemerintah. Audit, reviu, evaluasi, dan pemantauan merupakan aktivitas assurance yang termasuk dalam lingkup pengawasan intern berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah. Perlu dicermati bahwa perubahan paradigma dan indikator pembangunan akan mempengaruhi kebutuhan informasi hasil pengawasan dan selanjutnya juga akan mempengaruhi kebutuhan data dan kegiatan pengumpulannya, metodologi analisis, serta pengambilan kesimpulan dan interpretasi. Lebih jauh lagi, hal tersebut juga akan berpengaruh dengan kompetensi pelaksana pengawasan.
Dari perspektif ekonomi dan finansial, pengawasan pembangunan diharapkan mampu memberikan informasi mengenai efektivitas, efisiensi, dan keekonomisan program dan aktivitas pembangunan. Dalam sebuah rancangan program, akan dapat ditemui lima komponen dasar, yaitu masukan ( input ), proses/aktivitas, keluaran ( output ), hasil ( outcome ), dan dampak ( impact ). Informasi efektivitas, efisiensi, dan keekonomisan yang diperoleh melalui kegiatan pengawasan pada umumnya akan banyak berkutat dengan data masukan, proses/aktivitas, dan keluaran. Tentunya, hasil pengawasan tersebut akan dapat memberikan potret yang dibutuhkan untuk perbaikan di tingkat pelaksana kegiatan, tetapi berisiko masih memiliki banyak celah (gap) untuk dapat memberikan informasi yang dibutuhkan di tingkat pengambil kebijakan.
Dengan mempertimbangkan dimensi pembangunan manusia, pengambil kebijakan akan membutuhkan informasi mengenai keterkaitan suatu program pembangunan dengan hasil dan dampaknya, serta berpotensi juga membutuhkan informasi yang sifatnya lebih dalam
( provides depth ) dan lebih luas ( generalisable ). Kebutuhan informasi yang mendalam mungkin dapat dipenuhi dengan menggunakan metodologi yang bersifat kualitatif dan personal, sebagaimana dinyatakan oleh Rogers (2009). Di sisi lain, kebutuhan informasi yang mencerminkan luas dampak, mungkin dapat dipenuhi dengan data sekunder dan metodologi kuantitatif. Dalam contoh yang dibahas, Rogers (2009, hal.220) mendeskripsikan penggunaan metode Randomised Control Trial untuk mengevaluasi dampak sebuah program conditional cash transfer dan mengidentifikasi kemungkinan perluasan program tersebut. Penggunaan metodologi tersebut merupakan contoh penyediaan informasi dampak yang luas dan dapat digeneralisir. Di sisi lain, program conditional cash transfer yang sama juga dapat dievaluasi dampaknya dengan menggunakan participatory method (Chambers, 2009). Penggunaan metodologi tersebut berpotensi mampu menangkap data yang dibutuhkan untuk informasi yang lebih mendalam, termasuk mengidentifikasi dampak negatif yang tidak diniatkan oleh pelaksanaan program (Rogers, 2009, hal.220). Pengambilan kesimpulan berdasarkan dua contoh metodologi yang dipaparkan Rogers (2009) mungkin merupakan jawaban atas kebutuhan informasi dampak pembangunan dari suatu hasil pengawasan. Dalam kondisi tertentu, bahkan mungkin penggunaan metode kombinasi kuantitatif dan kualitatif diperlukan untuk mendapatkan kesimpulan yang diinginkan (Carter, 2009).
Secara umum, informasi tentang hasil pengawasan perlu disajikan secara berbeda dari praktik yang selama ini dilakukan di Indonesia. Paradigma pembangunan manusia akan menuntut kemampuan untuk menghubungkan pelaksanaan program dengan dampak yang dirasakan oleh manusia sebagai pelaksana dan sasaran suatu program pembangunan. Karena itu, terdapat kemungkinan bahwa informasi keuangan, ketaatan, dan kinerja administratif tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan stakeholders pembangunan, yang bisa berupa siapapun dari kelompok aktor pembangunan yang dipaparkan oleh Willis (2011). Pengawasan dengan fokus terhadap aspek ekonomi dan finansial tentu tidak akan kehilangan manfaat, seperti dicontohkan hasil eksperimen Olken (2007) mengenai dampak audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang mengurangi risiko terjadinya korupsi pada Program Pembangunan Kecamatan selama periode 2003-2004. Meskipun begitu, penyediaan informasi yang bersifat “ beyond finance ”, “ beyond compliance ”, dan “ beyond administrative performance ” berpotensi mampu memberikan manfaat lebih bagi stakeholders.
Dalam menindaklanjuti kebutuhan tersebut, diperlukan adanya peningkatan kompetensi bagi personil pengawasan. Pada konteks ini, maka paparan Woolcock (2007) menjadi sangat relevan. Dia menyatakan bahwa kompetensi yang dibutuhkan akan bersifat multidisiplin, seperti dicerminkan dalam program studi kebijakan atau program studi pembangunan yang akhir-akhir ini berkembang di banyak belahan dunia. Dibagi dalam tiga kelompok, kompetensi yang dibutuhkan akan berhubungan dengan data dan analisis; pemahaman ide, konteks, dan dimensi pembangunan yang beragam; serta kemampuan untuk berinteraksi dengan aktor pembangunan yang berbeda-beda (Woolcock, 2007, hal.65-69). Dalam kondisi saat ini, pemenuhan kompetensi melalui pendidikan formal di bidang studi yang sesuai sangat perlu dilakukan, di samping pelatihan di topik yang relevan.
III. Penutup
Perkembangan paradigma pembangunan memberikan pengaruh terhadap dimensi yang dianggap signifikan dan indikator pembangunan itu sendiri. Fokus pembangunan semula berupa pertumbuhan ekonomi, tetapi setelah pemikiran mengenai konsep capability approach muncul, dimensi manusia mulai dipertimbangkan dalam diskursus mengenai fokus pembangunan. Perubahan tersebut membawa evolusi pada indikator pembangunan yang digunakan, yang berkembang dari sekadar GDP menjadi lebih kaya seperti HDI dan MDGs.
Kohli, A. (2004) State-directed development: political power and industrialization in the global periphery. Cambridge: Cambridge University Press.
Kuznets, S. (1934) National Income, 1929-1932: Letter from the Acting Secretary of Commerce Transmitting in Response to Senate Resolution No. 220 (72nd Cong.) a Report on National Income, 1929-32, United States. Bureau of Foreign and Domestic Commerce.
Martinussen, J. (1997) Society, state, and market: a guide to competing theories of development. London ; Atlantic Highlands, N.J., USA: Zed Books.
Nigenda, G. and González-Robledo, L. (2005) Lessons offered by Latin American cash transfer programmes, Mexico”s Oportunidades and Nicaragua”s SPN. Implications for African countries, DFID Health Systems Resource Centre, (Online) Available from: http://www.eldis.org/fulltext/verypoor/5_ningenda.pdf
Olken, B.A. (2007) Monitoring Corruption: Evidence from a Field Experiment in Indonesia. Journal of Political Economy, 115: (2): 200-249.
Republik Indonesia. 2008. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah.
Riyanto, A. (2015) Perlukah APIP melakukan analisis kebijakan atas pelaksanaan pembangunan nasional Republik Indonesia. Warta Pengawasan, XXII: (3): 2-7.
Rogers, P.J. (2009) Matching impact evaluation design to the nature of the intervention and the purpose of the evaluation. Journal of Development Effectiveness, 1: (3): 217-226.
Sen, A. (1999) Development as freedom. 1st edition. New York: Knopf.
Sen, A. (2000) A Decade of Human Development. Journal of Human Development, 1: (1): 17-23.
Thomas, A. (1996) What is development management. Journal of International Development, 8 (1): 95-110.
Thomas, A. (1999) What makes good development management? Development in Practice, 9 (1-2): 9-17.
Todaro, M.P. (2014) Economic development / Michael P. Todaro, Stephen C. Smith. 12th ed. Harlow: Pearson.
UNDP (1990) Human Development Report, UNDP.
UNDP (2014) National and Regional Human Development Reports, UNDP.
United Nations (2014) We can end poverty, millennium development goals and beyond 2015 (Online) Available from: http://www.un.org/millenniumgoals/
UNAID (2008) Feature story, Leadership and AIDS: Festus Mogae, 20 October 2008.
UNDP (2000) Botswana Human Development Report 2000, UNDP.
Weber, M., Owen, D., Strong, T.B., Livingstone, B. (2004) The vocation lectures / "science as a vocation", "politics as a vocation"; edited and with an introduction by David S. Owen and Tracy B. Strong; translation by Rodney Livingstone. Indianapolis: Hackett Pub.
Willis, K. (2011) Theories and practices of development. 2nd edition. London ; New York, NY: Routledge.
Woolcock, M. (2007) Higher education, policy schools, and development studies: what should masters degree students be taught? Journal of International Development, 19: (1): 55-
(^1) PFA pada Biro Kepegawaian dan Organisasi BPKP (^2) Mahasiswa program S2 pada University of Birmingham