









Study with the several resources on Docsity
Earn points by helping other students or get them with a premium plan
Prepare for your exams
Study with the several resources on Docsity
Earn points to download
Earn points by helping other students or get them with a premium plan
Community
Ask the community for help and clear up your study doubts
Discover the best universities in your country according to Docsity users
Free resources
Download our free guides on studying techniques, anxiety management strategies, and thesis advice from Docsity tutors
LITERASI DIGITAL DI TENGAH ERA DISRUPSI SEBAGAI PENCEGAHAN HOAX DAN HATE SPEECH
Typology: Essays (university)
1 / 15
This page cannot be seen from the preview
Don't miss anything!
Disusun Oleh : Alfira Ananda S M
Abstrak Faktor terpenting dalam menghadapi peredaran informasi palsu ( hoax ) dan ujaran kebencian ( hate speech ) di era disrupsi adalah dengan meningkatkan dan mengenalkan literasi digital. Memiliki literasi digital bertujuan untuk memberikan kontrol lebih pada masyarakat dalam memaknai pesan yang berlalu-lalang di media digital. Artikel ini kemudian akan mengekplorasi dan mengevaluasi implementasi literasi digital, bagaimana pengaruhnya, serta cara meningkatkan kemampuannya sebagai upaya menanggulangi hoax dan hate speech. Pertama, literasi digital merupakan sebuah keharusan dalam kehidupan komunikasi akan ditinjau mulai dari konsep teoritis hingga arti pentingnya. Kedua, artikel ini akan membahas relasi literasi digital dengan upaya penanggulangan hoax dan hate speech di era disrupsi. Ketiga, mekanisme peningkatan kemampuan literasi digital akan dihadirkan sebagai upaya efektif untuk menanggulangi hoax dan hate speech. Relasi literasi digital dalam memberantas berita palsu dan ujaran kebencian terletak pada peran kemampuan kognitif masyarakat dalam proses memverifikasi informasi. Peningkatan literasi digital sebagai bentuk self control menjadi solusi untuh mencegah kasus peredaran informasi palsu ( hoax ) dan ujaran kebencian ( hate speech ) yang semakin marak terjadi. Literasi digital dapat menjadi cara yang efektif untuk menanggulangi hoax dan hate speech di era disrupsi, dengan mengenalkan unsur/indikasi hoax dan hate speech , prosedur
Menjamurnya berita palsu ( hoax ) dan ujaran kebencian ( hate speech ) yang beredar pada media sosial di Indonesia seakan-akan menjadi boomerang dapatmerusak kesatuan dan keharmonisan antarindividu dalam ber sosial media. Hoax dan hate speech rupanya sudah tidak di telinga seluruh masyarakat Indonesia. Era disruptif dan globalisasi merupakan central factor dalam hal tersebut. Teknologi Informasi (IT) dan internet berkembang dengan pesat bahkan lebih cepat dari usia kita. Oleh karena itu, konten-konten hoax dan hate speech senantiasa dikembangkan dan dihasilkansecara berulang, kemudian disebarkan secara terus menerus hingga menjadi sebuah fenomena dan kultur yang dianggaolumrah, hal tersebut merupakan pengimplementasian dampak negatif dari perkembangan IT dan internet yang begitupesat. Permasalahan ini sejatinya merupakan euforia media berekspresi yang baru, yangmemungkinkan kita untuk berujar dan membuat konten apapun tanpa terikattatanan etika kehidupan yang baku. Seakan-akan kehidupan kita di mediasosial berjalan secara terpisah dengan yangkita jalani pada dunia nyata. Era disrupsi menjadi wadah dalam tumbuh dan berkembangnya hoax dan hate speech. Banyak inovasi bermunculan, tetapi tidak semua itu baik. Kebebasan berpendapat dan berekspresi acap kali digunakan sebagai senjata dalam memberikan ujaran kebencian dan berita/informasi palsu. Kurangnya literasi digital menyebabkan hal tersebut seakan lumrah dan membudaya di kalangan pada saat ini. Saat ini, media sosial lebih berfungsi sebagai tempat pertemuan masyarakat untuk bertukar berita, potongan-potongan informasi, dan rekomendasi satu sama lain.Tersedianya tempat pertemuan denganaktivitas konektif dengan kadar yang tinggiinilah yang membedakan media sosial dengan media konvensional lainnya (Van Dijck, 2013:62). Sayangnya, informasiyang beredar di berbagai platform media sosial tak jarang yang mengandung framing dan bumbu penyedap yang tidak etis, bahkan praktkr memformat informasiyang memicu kaburnya batas antara berita palsu dan ujaran kebencian dengan yang akurat.
Berdasarkan data kemenkominfo, disebutkan bahwa ada sekitar 800. situs di Indonesia yang terindikasi sebagai penyebar informasi palsu ( hoax ). Pada 2014 saja, terdapat 761.126 situs yang diblokir karena konten berita palsu danujaran kebencian. Pada 2015 angkanya terus naik hingga mencapai 766.394 situs. Melengkapi data tersebut, menurut The Jakarta Post , sejak 2008 lalu sebanyak 144 orang telah diproses hukum karena kasus ujaran kebencian dan peredaran berita palsu di jagad media sosial. Faktor yang sangat menarik untuk dididiskusikan adalah banyaknya warganet atau dapat kita sebut netizen yang merasa berhak untuk berkomentar apapun di media sosial dengan menggunakan payung pembenaran kebebasan berpendapat. Kebebasan berpendapat sendiri sesungguhnya memang merupakan HAM yang dilindungi dalam Pasal 19 Declaration of Human Rights dan Pasal 28E UUD 1945, yang mencakup kebebasan untuk berpendapat tanpa intervensi dan untuk mencari, menerima, dan berbagi informasi dan ide melalui media apapun dan tanpa memandang batas negara. Sayangnya, tidak semua orang menyadari bahwa hak kebebasan tersebut tidak absolut karena diiringi oleh tanggung jawab khusus. Tulisan ini kemudian ingin mendiskusikan bagaimana peran literasi digital sebagai cara untuk mencegah praktik kebebasan berpendapat yang tidak bertanggung jawab di media sosial, khususnya mengedukasi masyarakat mengenai penyebaran berita palsu ( hoax ) dan ujaran kebencian ( hate speech ). Tulisan ini akan mengelaborasi bagaimana literasi digital dapat membantu masyarakat di era disrupsi saat ini untuk mengontrol diri dalam berinteraksi di media sosial dan tentang bagaimana bahaya informasi palsu dan ujaran kebencian. Literasi digital dapat memberikan kontribusi positif bagi masyarakat untuk melangkah lebih jauh yaitu menjadi garda terdepan iklim media sosial yang lebih sehat karena literasi digital. Titik tekan literasi dapat digunakan sebagai upaya preventif untuk mencegah praktik kebebasan berpendapat yang tidak bertanggung jawab seperti hoax dan hate speech.
mentransformasikan gambar, suara, dan kata-kata secara bebas (Lanham, 1995:198).
Era Disrupsi Era disrupsi merupakan era dimana ditandai dengan berkembangnya teknologi informasi secara pesat, bermunculannya ide-ide kreatif, serta inovasi yang bermunculan dengan begitu bebasnya. Disrupsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah hal tercabut dari akarnya. Secara bahasa, disruption artinya disturbance or problems which interrupt an event, activity, or process (gangguan atau kekacauan; gangguan atau masalah yang mengganggu suatu peristiwa, ativitas, atau proses). Dalam Praktiknya, disrupsi merupakan sebuah istilah yang menggambarkan perubahan di berbagai sektor akibat digitalisasi dan “ Internet of Thing ” ( IoT ) atau “Internet untuk Segala”. Inovasi dan perubahan secara besar- besaran dan fundamental tengah mengubah semua sistem, tatanan dan landscape yang ada ke cara-cara baru.
Berdasarkan definisi tersebut, tentu dapat dimaknai bahwa era disrupsi secara tidak langsung juga dapat berpengaruh terhadap hoax dan hate speech karena individu akan berlomba-lomba, saling bersaing, atau bahkan dapat saling menjatuhkan dengan berbagai cara agar mereka dapat bertahan di era disrupsi. Salah satu cara yang dapat mereka lakukan yaitu dengan melakukan hoax dan hate speech agar lawan mereka dapat jatuh sehingga individu tersebut dapat sendirinya bertahan ditengah era disrupsi ini sehingga dapat meraup keuntungan sebanyak- banyaknya.
Studi ini menggunakan metode penelitian yaitu kepustakaan ( library research ) dalam mengkombinasi berbagai macam literatur yang ada seperti jurnal, blog, buku, atau literatur yang relevan dengan tema yang diangkat. Metode tersebut dipilih karena ingin mengkombinasi hasil temuan penulis terdahulu yang sesuai dengan tema sebagai kajian pendahuluan ( preliminary
studies ) dengan kajian yang kekinian (Zed, 2008: 2).
Literasi Digital Merupakan Central Factor dalam Kehidupan Berkomunikasi Literasi digital memiliki arti yang sangat penting dalam kehidupan berkomunikasi di era disrupsi saat ini karena beberapa faktor diantaranya yaitu sertama, penggunaan media digitalkhususnya internet dan media sosial yang semakin intens dan mengkhawatirkan dalam kehidupan bermedia sosial sehari- hari. Rasanya, gadget menjadi perangkat yang wajib dibawa serta menjadi media alternatif yang paling diandalkan sebagai sarana berkomunikasi serta mencari informasi. Media digital seperti yang kita ketahui berkembang dengan sangat pesat, dengan tawaran informasi komunikasi dan konten lainnya yang terus menerus diproduksi tanpa mengenal baik dan buruk informasi tersebut. Pembaharuan informasi bahkan terjadi dalam sekejap mata, dari berbagai macam sumber dan platform yang tersedia.
Kedua, ketergantungan masyarakat terhadap situs mesin pencari ( Google, yahoo, atau Bing ) dan platform media sosial lainnya untuk mencari informasi. Tampaknya, internet menjadi primadona yaitu sebagai media baru yang menawarkan solusi atas segala macam mesin pencarian informasi masyarakat. Internet menjadi unggul karena waktu penyediaan informasi yang cepat dan kemudahan dalam mengaksesnya. Demikian halnya dengan media sosial sebagai platform akses informasi alternatif. Ketiga, untuk menyeleksi informasi dari banyaknya sumber yang ada, individu memerlukan kecakapan atau kemampuan spesifik. Dengan tersedianya aneka jenis informasi, perlu adanya kecakapan khusus yang ditunjang dengan literasi digital. Dengan memiliki kecakapan tersebut, individu akan memiliki kontrol lebih pada proses interpretasi pesan sehingga dapat menyeleksi informasi/konten tertentusecara akurat.
Literasi Digital:Upaya untukMenanggulangi Hoax dan Hate Speech Peran literasi digital dalam menanggulangi hoax dan hate speech sangatlah penting karena dengan literasi digital mampu membuat kita untuk berpikir kritis, kreatif, dan inovatif dalam menghadapi masalah yang sedang terjadi. Literasi digital juga mampu membantu dalam memecahkan masalah, tingkat komunikasi menjadi lebih lancar, dan mampu menghasilkan kapasitas jangkauanrelasi yang lebih luas. Terdapat tiga pilar transformasi digital, yaitu transformasi digital pada masyarakat, transformasi digital pada dunia usaha, dan transformasi digital pada pemerintah. Literasi digital sendiri hadir untuk menunjang pilar transformasi pada masyarakat, dimana insfrastruktur dan regulasi yang menjadi payung untuk meningkatkan digital awareness , digital knowledge, hygienic behavior, dan digital skills.
Relasi literasi digital dalam memberantas berita palsu dan ujaran kebencian terletak pada peran kemampuan kognitif masyarakat dalam proses verifikasi informasi. Bahkan, pada tingkatan yang lebih tinggi, literasi digital dapat membantu individu memberikan informasi alternative atas informasi yang sudah terkonfirmasi kepalsuannya. Dalam penelitiannya, Jonas De Keersmacker (2017:107) menyebutkan bahwa derajat pembenaran yang dilakukan individu tergantung pada kemampuan kognitif mereka. Pada era ini, peran literasi digital dalam konteks media sosial menjadi lebih sentral. Bila control konten media sosial rasanya sulit dilakukan oleh pihak pemerintah, pemilik media, maupun kelompok yang bersangkutan, literasi digital merupakan salah satu jalan keluarnya. Dengan menggalakkan literasi digital, pengendalian diri terhadap penggunaan media sosial dapat dilaksanakan secara optimal. Literasi digital bertujuan agar masyarakat menguasai pemprosesan berbagai informasi di media sosial dengan lebih kritis dan tidak mudah mengikuti arus treninformasi yang belum tentu valid.
Lalu, bagaimana cara meningkatkan kecakapan literasi digital? Secara teoritis, individu dengan tingkat literasi yang tinggi harus mendapatkan asupan informasi yang baik, kemudian mengaturnya menjadi
struktur pengetahuan yang berguna. Namun, pada praktiknya, meningkatkan kecakapan literasi digital perlu dilakukan sedini mungkin. Pengenalan literasi digital pada dunia akademik dapat dimulai dari sosialisasi kurikulum literasi. Seperti peta kurikulum yang ditawarkan oleh UNESCO, perlu adanya literasi akademik yang menyasar pada guru, salah satunya agar guru dapat secara kritis mengevaluasi konten media dan mengevaluasi informasi yang beredar (Grizzle dkk, 2011:18).
Peningkatan literasi digital sebagai bentuk self control menjadi solusi yang untuk mencegah dan menanggulangi penyebaran hoax dan hate speech yang semakin marak terjadi. Literasi digital merupakan cara yang efektif untuk menanggulangi hoax dan hate speech di era disrupsi dengan mengedukasi masyarakat mengenai hoax dan hate speech , mengenalkan unsur/indikasi hoax dan hate speech , prosedur memverifikasi informasi, hingga menindaklanjuti informasi yang terindikasi sebagai hoax dan hate speech. Pada era disrupsi, batasan antara kebenaran dan kebohongan menjadi kabur, sehingga menjadi suatutantangan sendiri bagi para pengguna media sosial.
Untuk menumbuhkan literasi digital pada level individu, kita bisa melakukan upaya dalam beberapa cara. Pertama, mengembangkan kesadaran akurat akan penjelasan informasi dengan memfilter sumber yang kredibel. Kedua, membandingkan informasi yang sama dari berbagai platform agar mendapatkan banyak sudut pandang. Ketiga, menumbuhkan budaya memverifikasi dan aktif mengkritik dan mengkoreksi informasi palsu yang beredar. Upaya literasi digital pada saat ini merupakan cara terbaik dalam menanggulangi penyebaran hoax dan hate speech di era disrupsi sebagai salah satu bentuk kebebasan berpendapat yang tidak bertanggung jawab serta merusak persatuan dan kesatuan. Perlu sosialisasi secara menyeluruh agar dapat tercipta
SCB, 2019. Menangkal Hoax dengan Literasi Digital di Era New Normal. Bandung: Telkom University, Fakultas Ekonomi dan Bisnis. (http://telkomuniversity.ac.id/) diakses pada tanggal 3 Januari 2022.