Docsity
Docsity

Prepare for your exams
Prepare for your exams

Study with the several resources on Docsity


Earn points to download
Earn points to download

Earn points by helping other students or get them with a premium plan


Guidelines and tips
Guidelines and tips

Eksperimen Fisika III, Papers of Physics

Eksperimen Fisika III, S1 Fisika Institut Teknologi Bandung

Typology: Papers

2017/2018

Uploaded on 09/12/2021

fakhrul-rahadian
fakhrul-rahadian 🇮🇩

4 documents

1 / 73

Toggle sidebar

This page cannot be seen from the preview

Don't miss anything!

bg1
LAPORAN EKSPERIMEN FISIKA III
LAPORAN FINAL MODUL FMF
oleh
Fakhrul Rahadian, Mujahid Al-Mutaz, Fadilla Rizalul
10218003, 10218026, 10218055
LABORATORIUM FISIKA LANJUT
PROGRAM STUDI FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2020-2021
pf3
pf4
pf5
pf8
pf9
pfa
pfd
pfe
pff
pf12
pf13
pf14
pf15
pf16
pf17
pf18
pf19
pf1a
pf1b
pf1c
pf1d
pf1e
pf1f
pf20
pf21
pf22
pf23
pf24
pf25
pf26
pf27
pf28
pf29
pf2a
pf2b
pf2c
pf2d
pf2e
pf2f
pf30
pf31
pf32
pf33
pf34
pf35
pf36
pf37
pf38
pf39
pf3a
pf3b
pf3c
pf3d
pf3e
pf3f
pf40
pf41
pf42
pf43
pf44
pf45
pf46
pf47
pf48
pf49

Partial preview of the text

Download Eksperimen Fisika III and more Papers Physics in PDF only on Docsity!

LAPORAN EKSPERIMEN FISIKA III

LAPORAN FINAL MODUL FMF

oleh

Fakhrul Rahadian, Mujahid Al-Mutaz, Fadilla Rizalul

LABORATORIUM FISIKA LANJUT

PROGRAM STUDI FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

ABSTRAK

Spin coating merupakan salah satu teknik yang umum digunakan untuk

menghasilkan film tipis dengan ketebalan pada orde nanometer hingga mikrometer

di atas sebuah substrat. Teknik spin coating dilakukan karena kemudahannya dalam

menghasilkan film tipis yang homogen dengan proses yang relatif sederhana.

Dalam prakteknya, terdapat beberapa parameter yang mempengaruhi hasil film

tipis oleh teknik spin coating. Percobaan dilakukan untuk mengetahui hubungan

parameter terkait terhadap film tipis yang dihasilkan.Percobaan dilakukan dengan

beberapa variasi, yaitu variasi kecepatan sudut pada sampel P3HT dan Dye

Ruthonium, variasi jumlah lapisan tipis pada sampel P3HT dan Dye Ruthonium,

dan variasi metode drop casting pada sampel MEH-PPV. Pada variasi kecepatan

sudut, dilakukan fitting data keadaan tebal film terhadap kecepatan sudut. Fitting

dilakukan dengan menggunakan model EBP (Emslie, Bonner, Peck), model

Meyerhofer, dan model Empirik. Kemudian, dari hasil film tipis yang diperoleh di

setiap variasi akan dilakukan karakterisasi sebuah film tipis menggunakan

spektrometer UV-Vis. Kemudian dilakukan penelitian untuk analisis gugus fungsi

pada setiap sampel uji dengan menggunakan spektroskopi FTIR. Analisis gugus

fungsi suatu sampel dilakukan dengan membandingkan pita absorbsi yang

terbentuk pada spektrum infra merah menggunakan tabel korelasi dan

menggunakan spektrum senyawa pembanding (yang sudah diketahui).

Kata Kunci : Band Gap , Spektroskopi FTIR, Spin Coating

  • Bab I Pendahuluan DAFTAR ISI ii
  • Bab II Dasar Teori
    • II.1 Dasar Teori Spin Coating
      • III.1.1 Spin Coating
      • III.1.2 Model Emslie, Bonner, Peck
      • III.1. 3 Model Meyerhofer.............................................................
      • III.1. 4 Model Empirik
    • II.2 Dasar Teori UV-Vis
      • III. 2 .1 Teori Spektroskopi
      • III. 2 .2 Ultraviolet-Visible Spectroscopy (UV-VIS)
      • III. 2 3 Teori Pita Energi
      • III. 2 4 Poly(3-hexylthiophene) (P3HT)
        • phenylenevinylene] (MEH-PPV) III. 2 5 Poly [2-methoxy- 5 - (2-ethylhexyloxy)-1,4-
      • III. 2 6 Dye Ruthenium
    • II. 3 Dasar Teori FTIR
      • III. 3 .1 Interaksi Gelombang Elektromagnetik dan Bahan
      • III. 3 .2 Spektroskopi Infrared
      • III. 3 3 Spektrometer Fourier Tranformation Infrared (FT-IR)
  • Bab III Metode
    • III.1 Metode Spin Coating
      • III.1.1 Preparasi Substrat Kaca
      • III.1.2 Pembuatan Film Tipis dengan Teknik Spin Coating
      • III.1. 3 Pengolahan Data
    • III.1 Metode UV-Vis
      • III.1.1 Pengambilan Data
      • III.1.2 Pengolahan Data iii
    • III.1 Metode FTIR
      • III.1.1 Karakterisasi Sampel
      • III.1.2 Pengolahan Data
  • Bab IV Hasil dan Pembahasan........................................................................
    • IV.1 Hasil dan Pembahasan Eksperimen Spin Coating
      • IV.1.1 Percobaan Variasi Kecepatan Sudut
      • IV.1.2 Percobaan Variasi Jumlah Lapisan Tipis
      • IV.1.3 Film Tipis MEH-PPV (Metode Drop Casting)
      • IV.1.4 Pertanyaan dan Analisis Eksperimen Spin Coating
      • IV.1.5 Open Problem Eksperimen Spin Coating
    • IV.2 Hasil dan Pembahasan Eksperimen UV-Vis
      • IV. 2 .1 Variasi Konsentrasi Larutan
      • IV. 2 .2 Variasi Kecepatan Sudut
      • IV. 2 .3 Variasi Jumlah Lapisan
      • IV. 2 .4 Pertanyaan dan Analisis Eksperimen UV-Vis
      • IV. 2 .5 Open Problem Eksperimen UV-Vis.................................
    • IV.1 Hasil dan Pembahasan Eksperimen FTIR
      • IV.1.1 Sampel P3HT
      • IV.1.2 Sampel MEH-PPV
      • IV.1. 3 Sampel Dye Ruthenium
      • IV.1.4 Pertanyaan dan Analisis Eksperimen FTIR
      • IV.1.5 Open Problem Eksperimen Spin FTIR
  • Bab V Kesimpulan
  • DAFTAR PUSTAKA

iv

Batasan pada eksperimen ini adalah:

  1. Proses pengambilan data tidak dilakukan secara langsung.
  2. Sampel larutan yang digunakan adalah P3HT, MEH-PPV, dan dye-

Ruthenium.

  1. Konsentrasi larutan P3HT yang digunakan adalah 5 mg/mL.
  2. Konsentrasi larutan dye-Ruthenium yang digunakan adalah 2 mg/mL.
  3. Substrat kaca yang digunakan berukuran 2.50 cm × 1.25 cm.
  4. Temperatur pemanasan yang digunakan sebesar 110℃ untuk P3HT dan

80℃ untuk Dye Ruthenium.

  1. Variasi kecepatan putar yang digunakan adalah 500, 1000, 2000, 3000, dan

4000 rpm pada plot absorbansi terhadap panjang gelombang untuk

karakterisasi UV-Vis.

  1. Variasi kecepatan putar untuk sampel P3HT adalah 1000 rpm selama 20

detik dan untuk sampel dye-Ruthenium adalah 500 rpm selama 30 detik

pada fitting grafik hasil eksperimen menggunakan ketiga model.

  1. Pelarut yang digunakan untuk sampel larutan P3HT dan MEH-PPV adalah

Chlorobenzene.

  1. Pelarut yang digunakan untuk sampel larutan dye-Ruthenium adalah

ethanol.

  1. Sampel yang digunakan untuk karakterisasi FT-IR berbentuk pellet.
  2. Sampel yang digunakan untuk karakterisasi FT-IR adalah P3HT, MEH-

PPV, dan dye N-719.

Asumsi yang digunakan dalam eksperimen ini adalah:

  1. Semua instrumen yang digunakan dalam eksperimen bekerja sebagaimana

mestinya.

  1. Sampel larutan yang digunakan berada dalam keadaan ideal.
  2. Pelarut yang digunakan berada dalam keadaan ideal.
  3. Pada model Emsile, Bonner, Peck (EBP), proses penguapan pelarut dapat

diabaikan.

  1. Pada model Meyerhofer, laju penguapan adalah konstan.
  2. Semua sampel dilarutkan dalam suhu ruang dan dalam lingkungan udara bebas.

Hipotesis eksperimen ini adalah:

  1. Absorbansi berbanding terbalik dengan kecepatan sudut spin coater
  2. Diperoleh film Dye Ruthenium yang lebih tipis dibanding P3HT
  3. Model EBP merupakan model terbaik untuk fitting pada percobaan
  4. Absorbansi berbanding lurus dengan jumlah lapisan tipis
  5. Nilai bandgap untuk setiap variasi sampel larutan akan bernilai sama.
  6. Nilai transmitansi berbanding terbalik dengan nilai absorbansi.
  7. Puncak absorbansi untuk setiap variasi sampel larutan berada pada rentang

panjang gelombang cahaya tampak.

Gambar II.2 Tahapan pada proses spin coating dan film tipis polimer dengan

menggunakan teknik spin coating

Secara umum, ketebalan film hasil spin coating berbanding terbalik dengan

kecepatan putar. Terdapat beberapa model yang diajukan terkait hubungan antara

ketebalan film tipis yang dihasilkan dengan kecepatan sudut yang digunakan.

II.1.2 Model Emslie, Bonner, Peck

Dalam model Emslie, Bonner, Peck dianggap bahwa proses penguapan pelarut

tidak memberikan kontribusi besar dalam pembentukan film tipis, sehingga proses

penguapan tersebut dapat diabaikan. Dengan mengacu pada kesetimbangan antara

gaya viskositas dan gaya sentrifugal per satuan volume, akan dihasilkan hubungan

berikut

ℎ 𝑜

( 1 +

4 𝜌𝜔

2

3 𝜂

𝑜

2

𝑡)

1

2

(II.1)

Dengan ℎ menyatakan ketebalan film tipis setiap saat, ℎ0 adalah ketebalan awal

film, 𝜌 merupakan densitas dari larutan, 𝜂 menujukkan viskositas larutan,

sementara 𝜔 dan 𝑡 masing-masing ialah kecepatan sudut dan waktu lama putaran.

II.1.3 Model Meyerhofer

Meyerhofer memodelkan pembentukan film tipis pada proses spin-coating dengan

menganggap bahwa mekanisme spinning berperan dominan pada saat awal, namun

kemudian pada saat akhir proses penguapan berperan lebih dominan. Dengan

mengasumsikan laju penguapan adalah konstan diperoleh hubungan

3 𝜂 𝑜

𝐸

2 ( 1 −𝐶 𝑜

)𝜌𝜔

2

1

3

(II.2)

dengan ℎ menyatakan ketebalan akhir film tipis, 𝜂 0

adalah viskositas awal larutan,

𝐸 menunjukkan laju penguapan konstan dalam satuan volume pelarut yang

menguap per satuan waktu per satuan luas, 𝐶 0

ialah konsentrasi awal larutan,

sedangkan 𝜌 dan 𝜔 masing-masing yaitu densitas larutan dan kecepatan sudut

yang digunakan.

II.1.4 Model Empirik

Dalam beberapa hasil eksperimen diperoleh bahwa hubungan antara ketebalan film

tipis yang dihasilkan dengan kecepatan sudut yang digunakan tidak sesuai dengan

Model Emslie, Bonner, Peck, maupun Model Meyerhofer. Secara empirik dari hasil

eksperimen hubungan yang diperoleh antara ketebalan film yang dihasilkan (ℎ)

dengan kecepatan sudut yang digunakan (𝜔) adalah sebagai berikut

1

2

(II.3)

Walapun model yang dibangun untuk menjelaskan proses spin coating tidak unik,

seluruh model tersebut memiliki kesamaan yaitu menyatakan bahwa ketebalan film

tipis yang dihasilkan berbanding terbalik dengan kecepatan sudut yang digunakan.

Pada spektroskopi intensitas cahaya datang sebesar I o

teratenuasi saat melewati

suatu sampel setebal b. Intensitas cahaya yang datang (I o

) dan yang ditransmisikan

(I

t

) dihubungkan melalui hukum Lambert-Beer:

𝑡

𝑜

−𝜀𝐶𝑏

(II.5)

Dengan I o

adalah intensitas cahaya yang datang, I t

adalah intensitas cahaya yang

ditransmisikan, ε adalah absorpivitas (L/mol cm), konsentrasi sampel (mg/ml), dan

b adalah tebal sampel (cm).

Absorbansi yang terbaca pada alat UV-Vis didefinisikan sebagai berikut

𝐴 = log

𝐼

𝑜

𝐼 𝑡

(II.6)

Dengan I o

adalah intensitas cahaya yang datang, I t

adalah intensitas cahaya yang

ditransmisikan, dan A adalah absorbansi.

II.2.2 Ultraviolet-Visible Spectroscopy (UV-VIS)

Gambar II.4 Spektroskopi UV-Vis

Spektrofotometer UV-VIS adalah salah satu metode instrumen yang paling sering

diterapkan dalam analisis kimia untuk mendeteksi senyawa (padat/cair)

berdasarkan absorbansi foton. Agar sampel dapat menyerap foton pada daerah UV-

VIS (panjang gelombang foton 200 nm – 700 nm), biasanya sampel harus

diperlakukan atau derivatisasi, misalnya penambahan reagen dalam pembentukan

garam kompleks dan lain sebagainya. Unsur diidentifikasi melalui senyawa

kompleksnya.

Spektrofotometer UV-Vis adalah teknik analisa spektroskopi yang menggunakan

sumber radiasi elektromagnetik ultraviolet dekat (200-400 nm) dan cahaya tampak

(400-800 nm) dengan instrumen spektrometer. Spektrometer UV-Vis merupakan

alat untuk mengukur transmitansi dan absorbansi suatu sampel sebagai fungsi

panjang gelombang. Absorbansi adalah daya sinar yang diserap oleh larutan atau

medium sedangkan transmitansi adalah daya radiasi sinar yang diteruskan atau

keluar dari kuvet dan daya radiasi sinar yang masuk kedalam kuvet.

Spektrofotometer terdiri dari dua komponen yaitu spektrometer berfungsi

menghasilkan spektra dengan panjang gelombang tertentu, dan fotometer yang

berfungsi mengukur intensitas cahaya yang ditransmisi, direfleksi, dan di absorpsi.

Spektrofotometer biasanya digunakan untuk pengukuran transmittance atau

kemampuan reflektif dari sebuah larutan, dan benda padat yang transparan atau

buram seperti kaca.

Spektrometer UV-Vis dapat digunakan untuk sampel berupa larutan atau padatan.

Spektrometer UV-Vis melibatkan energi elektromagnetik cukup besar pada

molekul yang dianalisis, sehingga Spektrometer UV-Vis lebih banyak dipakai

untuk analisa kuantitatif dibanding analisa kualitatif.

Secara umum spektrometer terdiri dari 4 bagian penting, yaitu sumber cahaya,

monokromator, kuvet holder, dan detektor. Sumber cahaya untuk daerah UV dapat

berupa lampu hidrogen atau deutrium (160-375 nm) sedangkan untuk daerah visible

menggunakan lampu halogen. Prinsip kerja dari Spektrometer UV-VIS adalah

sinar/cahaya dilewatkan melewati sebuah wadah (kuvet) yang berisi larutan,

dimana akan menghasilkan spektrum dengan panjang gelombang dari 200 nm

hingga 800 nm. Untuk menganalisis suatu sampel dibutuhkan dua sumber sinar,

yaitu sumber sinar UV dan sumber sinar visible. Kedua sinar ini ditembakkan ke

satu cermin yang sama, lalu sinar tersebut dipantulkan mengenai sampel, hasil

transmisi dari sampel dibagi dua untuk ditangkap oleh dua detektor yang berbeda,

yaitu detektor untuk analisis referensi dan detektor untuk hasil absorbansi cuplikan.

Perbandingan antara intensitas detektor berkas sampel dengan intensitas berkas

referensi merupakan hasil absorbansi yang akan diamati.

Poly(3-hexylthiophene) (P3HT) merupakan polimer organik yang dapat bersifat

konduktif. P3HT memiliki sifat fisis stabil terhadap lingkungan dan mobilitas hole

yang tinggi. P3HT juga memiliki kelarutan yang tinggi. P3HT merupakan

semikonduktor tipe-p dan dapat dimanfaatkan sebagai material aktif pada sel

surya organik.

II.2.5 Poly[2-methoxy- 5 - (2-ethylhexyloxy)-1, 4-phenylenevinylene] (MEH-

PPV)

Gambar II.7 Struktur MEH-PPV

MEH PPV merupakan salah satu polimer konjugasi organik yang bersifat konduktif

dan merupakan turunan dari rantai Poly [p-phenylene vinylene] (PPV). MEH-PPV

memiliki sifat optoelektronik yang baik dan elektroluminesensi yang dapat diproses

menjadi film tipis kristal yang cukup teratur. Celah pita yang kecil dan fluorensensi

warna merah yang dihasilkan membuat MEH-PPV ini dapat diaplikasikan sebagai

bahan aktif pada LED dan juga perangkat fotovoltaik.

II.2.6 Dye Ruthenium

Gambar II.8 Struktur Dye Ruthenium

Ruthenium kompleks dye merupakan jenis dye yang memiliki struktur komplek

dengan Ru pada pusatnya. Dye Ruthenium ini merupakan jenis dye yang paling

banyak digunakan dalam fabrikasi sel surya generasi DSSC (Dye Sensitized Solar

Cell) sebagai fotosensitizer. Performansi DSSC utamanya ditentukan oleh struktur

molekul dari fotosensitizernya dengan karakteristik yaitu memiliki spektrum

serapan pewarna mencakup daerah UV-Vis dan NIR.

II.3 Dasar Teori FTIR

II.3.1 Interaksi Gelombang Elektromagnetik dan Bahan

Pada saat radiasi gelombang elektromagnetik (EM) berinteraksi dengan suatu

bahan, maka kemungkinan yang dapat terjadi merupakan fenomena transmisi,

refleksi, hamburan, polarisasi, dan absorbsi dari gelombang datang. Studi

mengenai fenomena antara gelombang elektromagnetik dengan bahan disebut

dengan spektroskopi. Gelombang elektromagnetik memiliki rentang frekuensi (𝜈)

yang sangat luas dan kaitannya dengan energi (𝐸) dapat dituliskan sebagai,

𝐸 = ℎ𝑣 (II.7)

dimana ℎ merupakan konstanta Planck yang bernilai 6,626 × 10

− 34

2

Perbedaan energi terkait dengan frekuensi gelombang EM menyebabkan adanya

perbedaan interaksi dari gelombang EM dengan bahan yang dapat dimanfaatkan

salah satunya untuk karakterisasi kimiawi sesuai dengan jenis transisi yang

muncul.

II.3.2 Spektroskopi Infrared

Spektroskopi infrared (IR) merupakan studi yang mempelajari tentang interaksi

antara materi dengan Gelombang Elektromagnetik (GEM) yang berada pada daerah

frekuensi inframerah dengan panjang gelombang yang lebih panjang dari cahaya

tampak, dan lebih pendek dari radiasi gelombang mikro. Spektroskopi IR berada

pada daerah panjang gelombang 0,8 – 1000 μm, dengan bilangan gelombang antara

12500 – 10 cm-1 dalam spektrum elektromagnetik.

Daerah spektrum yang berhubungan dengan eksitasi disebut daerah sidik jari

(fingerprint). Dalam spektroskopi molekuler, daerah IR dari spektrum

Jenis dari modus vibrasi yang paling sederhana merupakan modus stretching dan

bending. Jenis yang lebih kompleks dan umum digunakan pada karakterisasi

spektroskopi IR termasuk di dalamnya scissoring, rocking, wagging, dan twisting.

Masing-masing modus memiliki jenis gerakan serta frekuensi alamiah yang

berbeda, dapat dilihat pada Gambar 3. Hasil dari spektroskopi IR merupakan

spektrum IR dengan puncak/lembah yang nantinya dapat dianalisa untuk

mengetahui jenis modus vibrasi dari ikatan tertentu yang terdapat pada sampel,

beberapa contoh spektrum IR:

Gambar II.11 Ilustrasi modus vibrasi

Penyerapan energi pada berbagai frekuensi ini kemudian dideteksi oleh

spektrometer IR, yang memplot persen radiasi IR yang diteruskan (ditransmisikan)

(% T) melalui senyawa sebagai fungsi frekuensi radiasi atau bilangan gelombang

(cm

  • 1

). Plot data ini menunjukkan spektrum IR yang memberikan informasi terkait

gugus fungsi suatu molekul.

Gambar II.12 Spektrum FTIR dari MNPs

Gambar di atas menunjukkan persentasi transmitansi. Nilai 70% pada persentasi

transmitansi menunjukkan bahwa Sebagian besar frekuensi dari sinar IR dapat

melewati senyawa tersebut. Sedangkan transmitansi sebesar 20% menunjukkan

bahwa hampir semua frekuensi tersebut diserap oleh senyawa. Adapun band

assignment dari spektrum FTIR pada gambar di atas ditunjukkan oleh tabel di

bawah.

Tabel II.1 Posisi pita transmisi dan jenis ikatan kimia dari hasil Analisa spektrum

FTIR MNPs

II.3.3 Spektrometer Fourier Tranformation Infrared (FT-IR)

Fourier Transform Infrared (FTIR) Spectroscopy merupakan spektrometer infrared

(IR) dengan sistem optik berupa interferometer seperti yang dapat dilihat pada

gambar di bawah. FTIR menggunakan sumber polikromatis yang berarti

menggunakan sumber yang terdiri dari banyak frekuensi. Berkas sinar IR akan

dipecah menjadi dua berkas saat melewati beam splitter. Salah satu berkas akan

dibelokan dan mencapai fixed mirror untuk nantinya dipantulkan kembali ke