






Study with the several resources on Docsity
Earn points by helping other students or get them with a premium plan
Prepare for your exams
Study with the several resources on Docsity
Earn points to download
Earn points by helping other students or get them with a premium plan
Community
Ask the community for help and clear up your study doubts
Discover the best universities in your country according to Docsity users
Free resources
Download our free guides on studying techniques, anxiety management strategies, and thesis advice from Docsity tutors
Studi Analisis dan Kompratif tentang Tradisi Islam yang ada di Indonesia, yang pertama menganut sinkretisme dan yang kedua membawa puritanisme.
Typology: Papers
1 / 11
This page cannot be seen from the preview
Don't miss anything!
Latar Belakang Artikel ini bertolak dari konsepsi Geertz yang menyebutkan bahwa agama merupakan bagian dari sistem kebudayaan. Geertz melihat agama sebagai pola untuk melakukan tindakan ( pattern for behaviour ), dan menjadi sesuatu yang hidup dalam diri manusia yang mewujud dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, agama merupakan pedoman yang dijadikan kerangka interpretasi tindakan manusia.^1 Praktik keagamaan di Jawa digambarkan Geertz sebagai suatu kebudayaan yang kompleks. Ia menunjuk pada banyaknya variasi dalam upacara, pertentangan dalam kepercayaan, serta konflik-konflik nilai yang muncul sebagai akibat perbedaan tipe kebudayaan atau golongan sosial. Ia memilah tradisi Jawa menjadi tiga varian: abangan, santri, priayi. Namun demikian, perbedaan tipe kebudayaan yang telah membentuk kehidupan masyarakat menjadi sangat plural tersebut, tetap berdiri di atas tradisi besar yang sama; Jawa. Di dalam kelompok-kelompok masyarakat dengan tipe kebudayaan yang berbeda, tercakup dalam struktur sosial yang sama, memegang banyak nilai yang sama, atau dengan kata lain terdapat bentuk-bentuk integrasi. Namun Geertz juga mengingatkan bahwa, agama sebagai sistem kebudayaan tidak hanya memainkan peranan yang integratif dan menciptakan harmoni sosial dalam masyarakat, akan tetapi juga berperanan memecah belah. Ketika Geertz menemukan tiga varian dalam kebudayaan Jawa yaitu abangan, santri, priayi, ia berpegang pada konsep Parsonian, yang menyebutkan bahwa ketiga tipe tersebut mencerminkan level nilai (kultur) yang berbeda. Oleh karenanya, Geertz ingin membuat interpretasi level nilai yang berbeda pada ketiga tipe kebudayaan Jawa. Interpretasi level nilai itu didasarkan pada orientasi politik, sosial, dan kepribadian dari masing-masing varian. Secara taksonomis hal tersebut dapat dilihat bahwa berdasarkan orientasi sosialnya, maka tipe abangan orientasi sosialnya adalah petani, tipe santri orientasi sosialnya adalah pedagang. dan tipe priayi orientasi sosialnya adalah pegawai negeri. Tipe santri yang orientasinya pedagang, saat ini masih dapat dijumpai di beberapa daerah, misalnya Kotagede (Yogyakarta), Pasar Kliwon (Surakarta). Pekajangan (Pekalongan), dan Sedayu (Gresik). Tetapi di kota-kota bandar seperti Demak, Tuban, Pasuruan, Semarang, Kudus, Rembang, Jepara, dan Surabaya yang dulunya menjadi pusat penyebaran Islam sekaligus pusat perdagangan, kini telah hancur berantakan karena pergulatan politik dalam sejarah Islam Jawa dan tergilas oleh bisnis global. Memang di zaman sesudah Perang Dunia II, ketika Geertz melakukan penelitian di Mojokuto tahun 1960-an, membuat taksonomi seperti dalam tabel di atas tidak mengalami kesulitan, yakni abangan-petani, santri-pedagang, dan priayi-pegawai negeri. Tetapi, untuk sekarang ini situasinya sudah berubah. Banyak santri yang dulu orientasinya pedagang (^1) Clifford Geertz and Robert Darnton, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 2017), 87, accessed June 7, 2021, http://rbdigital.rbdigital.com.
sekarang memilih menjadi pegawai negeri, dan tidak mampu terjun di dunia bisnis yang sudah dikuasai korporasi-korporasi global. Demikian juga dengan masyarakat petani yang dulu orientasi sosialnya abangan, sekarang banyak yang berubah menjadi santri seperti terlihat dalam masyarakat pedesaan Senjakarta. Perubahan sosial masyarakat petani dari abangan menjadi santri itu, mengindikasikan telah terjadi proses perubahan yang cukup panjang yaitu sekitar setengah abad. Ketika gerakan puritanisme Islam yang dipelopori Muhammadiyah masuk wilayah pedesaan Mojokuto kurang mendapat simpati masyarakat petani. Partisipasi masyarakat petani dalam mengikuti gerakan puritan tersebut sangat kecil. Saat itu, menurut hitungan Geertz tidak lebih dari 40 orang. Tetapi sekarang ini partisipasi masyarakat petani dalam gerakan Islam puritan di Senjakarta mencapai sekitar 11.000 orang. Gambaran perkembangan Islam puritan sekarang ini berbeda dengan tesis Geertz (1969) yang menyatakan bahwa gerakan puritan yang disebarkan secara radikal sulit mendapatkan partisipasi masyarakat pedesaan khususnya para petani. Di samping itu corak gerakan puritan yang radikal ini berbeda dengan yang terjadi di Kotagede^2 , Banyuwangi^3 , dan Lamongan^4. Dalam hubungan ini gerakan puritan terlihat bahwa mereka dulunya berasal dari komunitas yang sama yaita masyarakat petani-abangan. Proses perubahan dari masyarakat petani yang sinkretis menjadi puritan tidak terjadi konflik sosial, karena pada mulanya gerakan puritan di tiga tempat itu tidak disebarkan secara radikal. Hal inilah yang akan dilihat bagaimana gerakan yang sama-sama puritan ini. Artikel ini mencoba melihat fenomena agama sebagai sistem kebudayaan yang merupakan hasil produksi dan reproduksi manusia. Hal ini amat berhubungan dengan sistem pengetahuan manusia sebagai bentuk pengetahuan berkesadaran yang melibatkan seperangkat pengalaman manusia dalam melihat dunia sosio-kulturalnya. Dalam pandangan Berger, kebudayaan merupakan konstruksi manusia, sedangkan agama yang merupakan bagian dari sistem kebudayaan juga merupakan konstruksi manusia^5. Studi ini berangkat dari keanekaragaman budaya Islam dalam masyarakat Jawa. Keanekaragaman budaya Islam itu mencerminkan adanya golongan-golongan sosial, dengan diperkuat pada kecenderungannya untuk memegang identitas kultural masing-masing. Sebagaimana telah disebutkan, masyarakat petani abangan-sinkretis berubah menjadi puritan, dan berubah lagi dengan corak puritan-radikal. Terdapat orientasi yang kuat menuju pada golongan sosialnya sendiri, yang mengindikasikan adanya kepekaan budaya dengan kelompok lain. Jika dihubungkan dengan konsepsi Geertz di atas, ini berarti sistem budaya yang dibangun oleh suatu golongan sosial adalah agama. Oleh karena agama merupakan etos yang membawa mutu kepercayaan yang kuat para penganutnya, maka perbedaan (pertentangan) sosial dapat terjadi. Oleh karena (^2) Mitsuo Nakamura, Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1983) (^3) Andrew Beatty, Variasi Agama di Jawa: Suatu Pendekatan Antropologi , (Jakarta: PT Rajagrafindi Persada,
(^4) Asykuri ibn Chamim et.al, Purifikasi & Reproduksi Budaya di Pantai Utara Jawa, (Surakarta: Pusat Studi Budaya UMS, 2003) (^5) Peter Berger & Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan , (Jakarta: LP3ES, 1990)
diterjemahkan campuran, gabungan, paduan, dan kesatuan. Sinkretisme merupakan percampuran antara dua tradisi atau lebih, dan terjadi lantaran masyarakat mengadopsi suatu kepercayaan baru dan berusaha untuk tidak terjadi benturan dengan gagasan dan praktik budaya lama. Terjadinya percampuran tersebut biasanya melibatkan sejumlah perubahan pada tradisi-tradisi yang diikutsertakan. Dalam studi ini, sinkretisme dipahami sebagai percampuran antara Islam dangan unsur-unsur tradisi lokal. Dalam pandangan Koentjaraningrat, sinkretisme merupakan watak asli agama Jawi. Hal ini dapat dilihat dalam sejarah perjalanan hidup orang Jawa sampai sekarang dan bahkan yang akan datang, orang Jawa akan selalu menerima masukan pengaruh dari luar.^9. Kebudayaan memang merupakan suatu integrasi, yaitu terpadunya unsur-unsur atau sifat-sifat budaya yang berbeda-beda dalam suatu kebudayaan. Tentu saja perpaduan ini bukan sekumpulan kebiasaan-kebiasaan yang terkumpul secara acak-acakan. Hal ini dikarenakan sifat-sifat atau unsur-unsur yang berbeda tersebut dianggap bersumber pada sifat adaptif dari kebudayaan.^10 Islam di Jawa bercorak sinkretis, dalam arti terdapat perpaduan di antara dua atau lebih budaya, misalnya budaya Hindu, Buddha, dan animisme. Sebagaimana dinyatakan Geertz, Agama Jawa ini tampak dari luar adalah Islam, tetapi setelah dilihat secara mendalam kenyataannya adalah agama sinkretis. Sepertinya tidak terjadi apa-apa bahwa sinkretisme itu menciptakan persatuan sebagai tujuan utama, akibatnya dogma-dogma dan ajaran-ajaran harus dikurbankan secara lahiriah, tetapi di dalamnya dogma-dogma dan ajaran-ajaran masih dipergunakan. Dalam Islam sinkretis terlihat, bahwa namanya Islam tetapi di dalamnya terkandung ajaran Hindu, Buddha, dan animisme. Mulder meminjam Concise Oxford Dictionary untuk mendefinisikan sinkretisme, yakni usaha untuk menghilangkan perbedaan-perbedaan dan menciptakan persatuan antara sekte- sekte.^11 Dalam Islam sinkretis pernyataan Mulder ini ditunjukkan dengan adanya penghilangan nama Hindu, Buddha, dan animisme secara lahiriah untuk dileburkan menjadi satu bernama Islam. Hal ini tidak menjadi masalah, karena itu hanya sifat lahiriahnya saja. Yang lebih pokok adalah kandungan di dalam Islam sinkretis berupa ajaran Hindu, Buddha, dan animisme masih setia dilakukan secara empiris oleh sebagian masyarakat Jawa. Sementara itu, sinkretisme sebagaimana dipahami John R. Bowen dalam tulisannya Religious Practice adalah percampuran antara dua tradisi atau lebih, yang terjadi ketika masyarakat mengadopsi sebuah agama baru dan berusaha membuatnya tidak bertabrakan dengan gagasan dan praktik budaya lama.^12 Budaya Jawa selalu dipengaruhi oleh tiga aspek, yakni religius, estetika, dan gotong-royong.^13 Sinkretisme adalah konsep yang mengandung harmonisasi dari nilai-nilai budaya yang berbeda, yang diikuti para pelaku budaya dari sekte-sekte yang berbeda. Indikator-indikator dari sinkretisme meliputi Harmonisasi nilai-nilai budaya (aliran yang berbeda). Item-itemnya antara lain: (1) (^9) Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa , (Jakarta: Balai Pustaka,1984) (^10) Carol Ember & Melvin Ember, Konsep Kebudayaan , dalam Pokok-pokok Antropologi Budaya (Jakarta: Yayasan Obor, 1994) hal. 30- (^11) Niels Mulder, Sinkretisme Agama atau Agama Asia Tenggara? , (Basis: Agustus 1992) (^12) John Bowen, Religions in Practice , (UK: Pearson?Allyn and Bacon: 2002) (^13) Alisyahbana, Polemik Kebudayaan , (Jakarta: Balai Pustaka,1991)
religius: doa, ikrar, dan (2) estetika: seni pertunjukan, seni sastra, seni rupa, seni kerajinan. Dan Harmonisasi para pelaku dari sekte yang berbeda. Item itemnya lain: (1) gotong-royong: berkumpul, kebersamaanam, dan (2) toleransi: tepaselira, rasa (perasaan) dan sungkan.^14 Sedangkan Puritanisme yang identik dengan Muhammadiyah sebagaimana ditulis Peacock, Muhammadiyah adalah Muslim puritan atau sebagai pemurni ajaran Islam, dan sebagai kaum pembaru. Muhammadiyah diklaim sebagai Islam puritan karena merupakan gerakan agama menuju pada kemurnian kepercayaan (puritan) yang senantiasa menjauhkan tradisi sinkretis bermuatan TBK (takhayul, bid'ah, khurofat).^15 Konsepsi Peacock tentang ajaran puritan didasarkan pada ajaran pembaruan Islam, yang dapat dianggap mirip dengan ajaran Kristen Protestan. Puritanisme gerakan Muhammadiyah digambarkan seperti gerakan reformasi agama model Kristen Protestan Calvinis,^16 berdasarkan sejumlah alasan. Pertama, baik Calvinis maupun Muhammadiyah bersandarkan pada ajaran suci. Calvinis memiliki doktrin Sola Scriptura, yaitu kembali ke Alkitab. sementara Muhammadiyah kembali ke sumber asli Islam, yaitu Al Quran dan Sunnah. Kedua, sebagai konsekuensi atas "kembali ke sumber asli ajaran agama", baik Calvinis maupun Muslim puritan Muhammadiyah berdoa langsung di hadapan Tuhan, tanpa melalui perantara (wasilah). Para Calvinis mereformasi adanya perantara dengan minimalisasi unsur sakramen, dan menolak sistem gereja yang hierarkis. Calvinis menamakannya dengan doktrin Sola Fide, yang artinya hanya karena iman orang itu selamat. Demikian pula Muslim puritan Muhammadiyah memandang tidak terdapat mediasi hubungan antara manusia dan Tuhan. Muslim puritan berdiri dan bertanggung jawab langsung kepada Tuhan.^17 Variabel puritanisme adalah variabel yang dibangun dari pendapat James Peacock juga mengemukakan bahwa Muhammadiyah merupakan gerakan puritan yang menjadikan fokus utamanya pemurnian atau pembersihan ajaran-ajaran Islam dari sinkretisme. Indikator-indikator dari variabel puritanisme meliputi: (a) Memurnikan agama. Item-itemnya meliputi: kembali ke teks suci, serba syariah, non-konteks, tidak taklid, dan (b) Menjauhkan sinkretime. Item-itemnya meliputi: menolak, tidak datang, tidak melakukan slametan.^18
Sistem budaya yang dibawa oleh kelompok petani puritan adalah sistem budaya yang menginginkan kembalinya sistem kehidupan beragama Islam yang serba otentik (asli) dengan berpedoman pada sistem budaya yang berasal dari teks suci. Kelompok puritan berusaha untuk meningkatkan penggalian pustaka suci dalam bentuk hukum Islam atau dalam rangka pemurnian syariat. Syariat (hukum Islam) merupakan kodifikasi dari seperangkat norma tingkah laku yang diambil dari Al Quran dan hadis Nabi Muhammad. Bila syariat diaplikasikan dalam bentuk ritual-ritual serta tingkah laku dapat disebut kesalehan normatif. Kesalehan normatif itu menurut Woodward adalah seperangkat tingkah laku yang telah digambarkan Allah melalui utusan-Nya, Muhammad SAW, yang diperuntukkan seluruh umat Islam.^20 Dalam bidang penyiaran Islam diputuskan mengintensifkan pelarangan aktivitas agama yang berbentuk suatu penyim pangan keyakinan Islam, dengan cara menegakkan gerakan menolak takhayul, bid'ah, dan khurafat sebagai bentuk perwujudan nilai-nilai budaya kelompok sinkretis. Ajakan kaum puritan adalah untuk meningkatkan kadar keislaman di lingkungan masyarakat agar menjadi masyarakat Islam yang sebenar- benarnya. Oleh karenanya, karakter gerakannya tampak lebih doktriner, mirip gerakan Islam dari tempat asalnya, Arab. Corak budaya dan proses reproduksi gerakan Islam puritan amat tekstual-formalis (skriptural, literal, doktrinal) dan menolak pemahaman yang kontekstual sinkretis. Pandangan tersebut antara lain tampak dalam gerakan Wahabi di Timur Tengah. Islam puritan mengadopsi roh Islam murni yang dibangun oleh Ibnu Hanbal yang dilanjutkan oleh para pengikutnya di antaranya Ibnu Taimiyah dalam orientasinya yang disebut politik syariat ( as-siyasah as-syar'iyyah ), yang memerintahkan penegakan syariat Islam dan pemerintahan yang adil dan saleh dalam kehidupan masyarakat Islam.^21 Secara kultural, sistem budaya Islam puritan lebih bersifat ekspansif, dalam arti keberadaannya dianggap sebagai tradisi besar ( great tradition ) yang terus bergerak memasuki wilayah tertentu dalam suatu masyarakat yang telah lama memiliki sistem budaya sinkretis. Dengan demikian, sistem budaya sinkretis diposisikan sebagai tradisi kecil (little tradition), yang diharuskan untuk menyesuaikan diri dengan sistem budaya Islam puritan. Bahkan di dalam perilaku tindakan sosialnya, masyarakat Islam puritan berusaha mendekonstruksi tatanan kehidupan masyarakat Islam sinkretis yang me ngandung takhayyul, bid'ah, dan khurafat. Dalam sejarah gerakan Islam puritan global ditunjukkan oleh Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab. Gerakan-gerakan tersebut mengobsesikan secara romantik adanya persatuan Islam atas dasar penyeragaman konsep teologis akan kemurnian keyakinan berketuhanan. Oleh karenanya, di dalam sistem budaya kelompok sosial Islam puritan antara lain berusaha menjauhkan tradisi sinkretis yang mengandung takhayul, bid'ah, dan khurafat, seperti slametan, tahlilan, Yasinan, ziarah, metik, tedun, wayangan, golek dina, sesaji, ngalap berkah, cari dukun, dan sebagainya.
Huntington mengatakan bahwa sumber konflik yang terpenting di dunia ini bukanlah terutama bersifat ideologis atau ekonomis. Perbedaan-perbedaan terbesar yang dihadapi umat manusia dan sumber konflik yang paling dominan adalah persoalan kultural. Ia menyebutkan bahwa benturan-benturan budaya akan menguasai perilaku politik global. Garis rawan antara kebudayaan-kebudayaan akan menjadi ajang peperangan masa depan. Konflik antara kebudayaan-kebudayaan akan merupakan fase terakhir dalam evolusi konflik dunia modern. Ia menyebutkan bahwa desa desa, kawasan-kawasan, kelompok etnis, nasionalitas, kelompok keagamaan, semuanya memiliki kultur yang berbeda dalam berbagai ragam tingkat kultural.^22 Mengapa terjadi benturan budaya? Dalam bukunya yang berjudul The Clash of Cilivilitization , Huntington mengemukakan, terjadinya benturan budaya di antaranya disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, perbedaan antara kebudayaan tidak hanya bersifat nyata, akan tetapi lebih bersifat mendasar. Kedua, dunia menjadi semakin kecil sebagai akibat interaksi antara rakyat yang berbeda kebudayaan semakin bertambah." Dari pernyataan Huntington, terdapat dua kata yang dapat menciptakan terjadinya benturan budaya, yaitu konflik ( conflict ) dan perselisihan ( discord ). Demikian pula munculnya konflik dan perselisihan sebagai akibat perbedaan kebudayaan dalam masyarakat pedesaan yang dibawa oleh kelompok pendukung budaya Islam puritan dan sinkretis mempertegas batas-batas golongan sosial kedua kelompok, maka pada tingkat ekstrim simbolik, benturan budaya antara kedua kelompok tidak dapat dihindari. Para pendukung Islam puritan sering memberi cap secara semena-mena kepada para pendukung sinkretisme Islam sebagai Muslim statistik (tidak menjalankan perintah doktrin suci). Padahal apa yang dipraktikkan oleh masyarakat pendukung sinkretisme Islam itu baik-baik saja dan sesuai dengan kebenaran menurut filsafat hidup mereka. Mereka sama sekali tidak menderita ketegangan, karena agama yang mereka anut merupakan pernyataan mengenai kebudayaan sendiri yang dilokalisasikan.^23 Oleh karena itu, cap terhadap kelompok Islam sinkretis sebagai Muslim statistik, oleh kaum puritan menimbulkan konflik dan perselisihan yang tidak terelakkan. Satu pihak memandang pihak lain tidak tepat dalam mewujudkan ajaran agama dalam tindakan-tindakan dan kegiatan hidup. Pihak lain mengalami konflik terhadap diri nya sendiri maupun terhadap pihak lain di luarnya. Konflik yang dimaksud terjadi karena sikapnya terhadap pihak lain menimbulkan interaksi antagonistik.^24 Interaksi antagonistik adalah pergaulan sosial yang menimbulkan pertentangan di antara kelompok yang ada. Namun dalam situasi seperti itu, ketika prasangka-prasangka menjadi lebih penting, dan perpecahan kedua kelompok mengarah pada konflik sosial atau benturan budaya, maka aspek-aspek simbolik dalam kebudayaan justru dapat berfungsi sebagai faktor integrasi dalam kehidupan sosial. Antara nilai-nilai kontradiktif dan nilai-nilai adaptif suatu kebudayaan lazim berjalan bersama dalam suatu kehidupan masyarakat, karena yang pertama merupakan kebalikan dari yang kedua. Dalam bukunya The Functions of Social Conflict , Coser memfokuskan tentang fungsi konflik dari pada disfungsi, yaitu konsekuensi-konsekuensi (^22) Samuel Huntingtong, The Clash of Civilization (Foreign Affair Vol 72 No 03, 1993) hal 3-4. (^23) Niels Mulder, Sinkretisme Agama (Basis, Agustus 1992) hal 285. (^24) Bryan Turner, Sosiologi Islam: Telaah Analitis atas Tesis Sosiologi Weber (Jakarta : Rajawali Pers, 1978)
biasanya dilakukan dengan mempergunakan bahasa Arab. Upacara Jawa slametan yang amat lazim di kalangan abangan dan priayi dikritik habis-habisan oleh Muhammadiyah dan menganggapnya sebagai penghamburan sia-sia serta disarankan untuk disalurkan kepada sesuatu yang lebih bermanfaat. Gerakan Muhammadiyah juga menyerang praktik upacara kematian kaum abangan, dengan menjelaskan dalil-dalil yang membolehkan tiga hal dalam pemakaman, yaitu memandikan, memberi kafan, dan menguburkan mayat. Deskripsi Geertz juga terarah pada sikap santri terhadap budaya kaum abangan yang dianggap musyrik. Kalangan Muhammadiyah menyerang penyembahan berhala (musyrik) dan menuntut ditegakkannya ajaran Islam yang murni, tanpa toleransi terhadap kepercayaan dan praktik kejawen yang tentu saja sikap tersebut mengundang perlawanan setempat. Dalam pandangan Geertz, apa yang telah dilakukan oleh orang puritan tersebut merupakan bentuk pemutusan hubungan dengan masyarakat tradisional-sinkretis. Kehadiran orang-orang Muhammadiyah di Mojokuto juga bersinggungan dengan orang- orang Islam tradisional. Geertz menjelaskan bahwa mula-mula terdapat lima orang Muhammadiyah, yang satu sebagai penghulu dan yang lain sebagai pedagang. Lima orang ini langsung menyerang terhadap organisasi Islam tradisional. Orang-orang Islam tradisional juga melakukan perlawanan, dengan menyebutkan bahwa Muhammadiyah dianggap sebagai agama baru yang tidak benar-benar Islam, tetapi merupakan ajaran sesat. Oleh karena dianggap sesat, maka orang-orang Muhammadiyah berkeliling desa untuk berceramah guna meyakinkan rakyat, bahwa ajaran mereka berpedoman pada Al- Quran dan Al Hadis. Apa yang dilakukan oleh orang Muhammadiyah dalam pandangan Geertz disebut tindakan radikal. Dengan tindakannya yang radikal itu, kehadiran Muhammadiyah di Mojokuto tidak mendapat simpati masyarakat petani pedesaan. Dalam hitungan kasar Geertz, jumlah orang Muhammadiyah dari tahun 1930 sampai 1953 tidak lebih dari 40 orang, dalam artian gerakan Muhammadiyah dianggap sulit berkembang, sehingga gerakan tersebut dinyatakan gagal membentuk organisasi cabang di Mojokuto. Geertz juga membandingkan gerakan Muhammdiyah dengan gerakan NU yang memiliki massa 15.000 orang dan telah berhasil membentuk organisasi cabang. Padahal kedua gerakan tersebut masuk di wilayah Mojokuto waktunya hampir bersamaan, yaitu sekitar tahun 1930-an. Melihat kenyataan tersebut, Geertz (1989) membangun sebuah tesis yang menyebutkan bahwa pola gerakan Muhammadiyah yang dilakukan secara radikal menjadi penyebab rendahnya partisipasi masyarakat petani pedesaan dalam gerakan ini. Gerakan puritanisme Islam baru bisa memasuki daerah pedesaan jika toleran dalam menghadapi nilai-nilai budaya Islam sinkretis. B. Kritik Terhadap Geertz Berdasarkan uraian di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa teori yang dikemukakan oleh Geertz itu tidak sepenuhnya lagi berlaku atau sama persis dengan keadaan sekarang, sebab ia melakukannya di masa waktu yang telah lalu dan telah terjadi cukup jauh sejak penelitian itu dilakukan hingga saat ini. Sedangkan masyarakat telah berubah drastis berdasarkan kepada kondisi sosial, ekonomi, politik dan keagamaan yang telah mengalami pergeseran budaya baik dari sisi sinkretisme maupun sisi puritanisme.
Daftar Pustaka Alisyahbana, Polemik Kebudayaan , (Jakarta: Balai Pustaka,1991) Andree Feillard, Negara: Pencarian Isi Bentuk dan Makna (Yogyakarta: Lkis, 1999) Andrew Beatty, Variasi Agama di Jawa: Suatu Pendekatan Antropologi , (Jakarta: PT Rajagrafindi Persada, 2001) Asykuri ibn Chamim et.al, Purifikasi & Reproduksi Budaya di Pantai Utara Jawa, (Surakarta: Pusat Studi Budaya UMS, 2003) Bryan Turner, Sosiologi Islam: Telaah Analitis atas Tesis Sosiologi Weber (Jakarta : Rajawali Pers, 1978) Carol Ember & Melvin Ember, Konsep Kebudayaan dalam Pokok-pokok Antropologi Budaya , (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994) Clifford Geertz and Robert Darnton, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books,
Clifford Geertz, Abangan Santri Priyayi dalam Masyarakat Jawa , (Jakarta: Pustaka Jaya,
Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa (Yogyakarta: Gama Media, 2000) Eddy Kristiyanto, Reformasi dari Dalam: Sejarah Gereja Zaman Modern , (Yogyakarta: Kanisus, 2004) Franz Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan , (Jakarta: Gramedia, 1988) Hildred Geertz, the Javanese Family (New York: Division of Growell Coller, 1961) Ibnu Taimiyah, Siyasah Syariyah: Etika Politik Islam (Jakarta: Gema Insani, 1996) James Peacock, The Muhammadiyah Movement in Indonesian Islam: Purify the Faith , (CA: Menlo Park, 1983) James Peacock, Dahlan and Rasul: the Indonesian Moeslim Reformers the Imaginay of Reality , (New Jersey: Alblex Publishing Corporation, 1979) John Bowen, Religions in Practice , (UK: Pearson?Allyn and Bacon: 2002) Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa , (Jakarta: Balai Pustaka,1984) Lewis Coser, The Functions of Social Conflict, (British : Simon & Schuster, 1956) Mitsuo Nakamura, Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1983) Niels Mulder, Sinkretisme Agama atau Agama Asia Tenggara? , (Basis: Agustus 1992) Mark Woodward, Islam Jawa : Kesalehan Normatif Vs Kebatinan (Yogya : LKS, 1999) Peter Berger & Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan , (Jakarta: LP3ES, 1990) P. James Spradley, Metode Etnografi , (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997) Samuel Huntingtong, The Clash of Civilization (Foreign Affair Vol 72 No 03, 1993) Sukidi, Muhammadiyah sebagai Islam Protestan: Refleksi Pemikiran Awal , (Media Inovasi: Jurnal Ilmu dan Kemanusiaan, 2005)