




























































































Study with the several resources on Docsity
Earn points by helping other students or get them with a premium plan
Prepare for your exams
Study with the several resources on Docsity
Earn points to download
Earn points by helping other students or get them with a premium plan
Community
Ask the community for help and clear up your study doubts
Discover the best universities in your country according to Docsity users
Free resources
Download our free guides on studying techniques, anxiety management strategies, and thesis advice from Docsity tutors
A tutorial to pray better by Ust Abdul Somad Lsc who write in better to improve a relathionsip with Allah SWT
Typology: Essays (university)
1 / 108
This page cannot be seen from the preview
Don't miss anything!
Dipersembahkan untuk ummat oleh Tafaqquh Study Club | Website: www.tafaqquhstreaming.com
Dipersembahkan untuk ummat oleh Tafaqquh Study Club | Website: www.tafaqquhstreaming.com
Sekapur Sirih.
Seorang laki-laki tua datang kepada saya, rambutnya sudah memutih karena usia, setelah bersalaman ia pun berucap, “Pak Ustadz, ketika bangkit dari ruku’, saya selalu mengucapkan ‘ Sami’allahu li man hamidah ’. Kata penceramah di kampung saya, ma’mum yang melakukan perbuatan seperti itu, maka shalatnya batal. Bagaimanakah shalat saya selama ini?”.
Dalam sebuah pengajian, terlihat seorang jamaah yang melaksanakan shalat, ketika Takbiratul- Ihram ia angkat kedua tangannya setinggi-tingginya, setiap kali tegak bangun dari sujud ia kembali mengangkat kedua tangannya.
Seorang muslim yang hidup bernafas karena nikmat dan karunia Allah, detak jantungnya karena qudrat dan iradat Allah, tapi tidak pernah mau menempelkan dahinya untuk bersimpuh sujud ke hadirat Allah.
Tiga kasus di atas memberikan gambaran kepada kita tentang potret ummat saat ini. Saya berharap, meskipun jauh dari kesempurnaan, mudah-mudahan buku kecil ini dapat memberikan jawaban untuk ketiganya.
Saya kemas dalam bentuk tanya-jawab untuk memudahkan pembaca. Biasanya, ketika membaca pertanyaan, akal bekerja ingin mencari jawaban, saat itulah jawaban datang, mudah- mudahan lebih merasuk ke dalam hati dan akal.
Saya sebutkan beberapa pendapat mazhab, bukan untuk mengacaukan amalan ummat selama ini, akan tetapi untuk mengetahui bahwa pendapat itu banyak dan masing-masing memiliki dalil, sikap menghormati akan menguatkan ukhuwwah umat ini.
Buku kecil dan sederhana ini jauh dari kesempurnaan, masih perlu kritik yang membangun dari pembaca. Semoga menjadi bahan kritikan bagi para ulama, dapat menjadi insipari bagi para pemula, menjadi bekal amal ketika menghadap Yang Maha Kuasa.
Pekanbaru, 18 Mei 2013
H. Abdul Somad, Lc., MA.
Dipersembahkan untuk ummat oleh Tafaqquh Study Club | Website: www.tafaqquhstreaming.com
Pertanyaan 23: Apakah bacaan pada Ruku’?
Pertanyaan 24:
ma’mum dan orang yang shalat sendirian?
Pertanyaan 25: Adakah bacaan tambahan?
Pertanyaan 26:
Ketika sujud, manakah yang terlebih dahulu menyentuh lantai, telapak tangan atau lutut?
Pertanyaan 27: Apakah bacaan sujud?
Pertanyaan 28: Apakah bacaan ketika duduk di antara dua sujud?
Pertanyaan 29:
Apakah ketika bangun dari sujud itu langsung tegak berdiri atau duduk istirahat sejenak?
Pertanyaan 30:
Ketika akan tegak berdiri, apakah posisi telapak tangan ke lantai atau dengan posisi tangan mengepal?
Pertanyaan 31: Apakah bacaan Tasyahhud?
Pertanyaan 32: Bagaimanakah lafaz shalawat?
Pertanyaan 33: Apa hukum menambahkan kata Sayyidina sebelum menyebut nama nabi?
Pertanyaan 34: Bagaimanakah posisi jari jemari ketika Tasyahhud?
Pertanyaan 35:
Jika saya masbuq, ketika imam pada rakaat terakhir, sementara itu bukan rakaat terakhir bagi saya, imam duduk Tawarruk, bagaimanakah posisi duduk saya, Tawarruk atau Iftirasy?
Pertanyaan 36: Bagaimanakah posisi duduk pada Tasyahhud, apakah duduk Iftirasy atau Tawarruk?
Pertanyaan 37: Adakah doa lain sebelum salam?
Pertanyaan 38: Adakah doa tambahan lain sebelum salam?
Pertanyaan 39: Bagaimanakah salam mengakhiri shalat?
Pertanyaan 40: Ke manakah arah duduk imam setelah salam?
Dipersembahkan untuk ummat oleh Tafaqquh Study Club | Website: www.tafaqquhstreaming.com
Pertanyaan 41: Ketika shalat, apakah Rasulullah Saw hanya membaca di dalam hati, atau dilafazkan?
Pertanyaan 42: Apakah arti thuma’ninah? Apakah standarnya?
Pertanyaan 43: Bagaimana shalat orang yang tidak ada thuma’ninah?
Pertanyaan 44: Apa pendapat ulama tentang Qunut Shubuh?
Pertanyaan 45: Apakah dalil hadits tentang adanya Qunut Shubuh?
Pertanyaan 46: Apakah ketika membaca Qunut mesti mengangkat tangan?
Pertanyaan 47:
Jika seseorang shalat di belakang imam yang membaca Qunut, apakah ia mesti mengikuti imamnya?
Pertanyaan 48: Adakah dalil keutamaan berdoa setelah shalat wajib?
Pertanyaan 49: Adakah dalil mengangkat tangan ketika berdoa?
Pertanyaan 50: Apakah dalil zikir setelah shalat?
Pertanyaan 51: Apakah ada dalil zikir jahar setelah shalat?
Pertanyaan 52: Apakah Sutrah itu?
Pertanyaan 53: Apakah dalil shalat menghadap sutrah?
Pertanyaan 54: Apakah hukum menggunakan sutrah?
Pertanyaan 55: Adakah hadits yang menyebut Rasulullah Saw shalat tidak menghadap Sutrah?
Pertanyaan 56: Apakah boleh membaca ayat ketika ruku’ dan sujud?
Pertanyaan 57: Apakah boleh berdoa ketika sujud?
Pertanyaan 58: Apakah boleh membaca doa yang tidak diajarkan nabi dalam shalat?
Pertanyaan 59: Apakah boleh berdoa bahasa Indonesia dalam shalat?
Pertanyaan 60: Berapa lamakah shalat nabi ketika shalat malam?
Pertanyaan 61: Apakah ayat yang dibaca nabi?
Pertanyaan 62: Apakah boleh shalat Dhuha berjamaah?
Pertanyaan 63: Apakah dalil membaca surat as-Sajadah pada shubuh jum’at?
Pertanyaan 64: Bagaimana jika dibaca terus menerus?
Dipersembahkan untuk ummat oleh Tafaqquh Study Club | Website: www.tafaqquhstreaming.com
Pertanyaan 1: Apakah shalat itu?
Jawaban:
Ucapan dan perbuatan khusus, diawali dengan Takbir dan ditutup dengan Salam^1.
Pertanyaan 2: Apakah dalil yang mewajibkan shalat?
Jawaban:
Dari al-Qur’an:
َُنػَفَاء َ و َ ُ ِيمُوا الصاَّلالَة َ و َ ػ ُ ْتُوا الل اَّل َاة َ وَذَلِك َ د ِ ن ُ ال ْ َيِّدمَةِ ِ َ لَو ُ الد ِّد ن وَمَا أُم ِ ُوا إِال اَّل لِيػَعْبُدُوا اللاَّلو َ ؼتُْلِص
“ Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada- Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus ”. (Qs. al-Bayyinah [98]: 5).
Ayat:
ُف َ َقِيمُوا الصاَّلالَة َ وَآَتُوا الل اَّل َاة َ وَاعْتَصِمُوا بِاللاَّلو ِ ىُو َ مَوْال َ ُم ْ فَنِعْم َ الْمَوْذل َ و َ ِعْم َ الناَّلصِري
“..., maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, Maka Dialah Sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong ”. (Qs. Al-Hajj [22]: 78).
Dan banyak ayat-ayat lainnya.
Dalil hadits Rasulullah Saw:
Dari Abdullah bin Umar, dari Rasulullah Saw, beliau bersabda: “ Agama Islam itu dibangun atas lima perkara: agar mentauhidkan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan puasa Ramadhan dan melaksanakan ibadah haji ”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
(^1) Syekh Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu : 1/572.
Dipersembahkan untuk ummat oleh Tafaqquh Study Club | Website: www.tafaqquhstreaming.com
Dan hadits-hadits lainnya.
Pertanyaan 3: Bilakah Shalat diwajibkan?
Jawaban:
Shalat diwajibkan lima waktu sehari semalam sejak peristiwa Isra’ dan Mu’raj Rasulullah Saw berdasarkan hadits:
Dari Anas bin Malik, ia berkata: “Shalat diwajibkan kepada Rasulullah Saw pada malam ia di-Isra’-kan, shalat itu ada lima puluh, kemudian dikurangi hingga dijadikan lima, kemudian Rasulullah Saw dipanggil: “Wahai Muhammad, sesungguhnya kata yang ada pada-Ku tidak diganti, sesungguhnya untukmu dengan lima shalat ini ada lima puluh”. (HR. At-Tirmidzi, Imam at-Tirmidzi berkata: “Hadits Hasan Shahih”).
Pertanyaan 4: Bilakah seorang muslim mulai diperintahkan melaksanakan shalat?
Jawaban:
Seorang muslim wajib melaksanakan shalat ketika ia telah baligh dan berakal, akan tetapi sejak dini telah diperintahkan sebagai proses belajar dan latihan, sebagaimana hadits:
“ Perintahkanlah anak-anak kamu agar melaksanakan shalat ketika mereka berusia tujuh tahun. Pukullah mereka ketika mereka berumur sepuluh tahun. Pisahkan tempat tidur mereka ”. (HR. Abu Daud).
Pertanyaan 5: Apakah shalat mesti dilaksanakan secara berjamaah?
Jawaban:
Ya, berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah. Allah berfirman:
َوَإِذَا ُنْت َ فِي ِم ْ ف َ َقَمْت َ عتَُم ُ الصاَّلالَة
Dipersembahkan untuk ummat oleh Tafaqquh Study Club | Website: www.tafaqquhstreaming.com
bahwa ia akan mendapati tulang yang gemuk (daging), pastilah ia akan menghadirinya”. Yang dimaksud Rasulullah Saw adalah shalat Isya’. (HR. Muslim).
Dalam hadits lain disebutkan:
Dari Usamah bin Zaid, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: “ Hendaklah mereka berhenti meninggalkan shalat berjamaah atau aku akan membakar rumah mereka ”. (HR. Ibnu Majah).
Pertanyaan 6: Apa saja keutamaan shalat berjamaah itu?
Jawaban:
Banyak keutamaan shalat berjamaah menurut Sunnah Rasulullah Saw, berikut ini beberapa keutamaan tersebut:
Dari Ibnu Umar, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: “ Shalat berjamaah lebih baik daripada shalat sendirian sebanyak dua puluh tujuh tingkatan ”. (HR. Muslim).
“ Sesungguhnya setan itu bagi manusia seperti srigala bagi kambing, srigala menangkap kambing yang memisahkan diri dari gerombolannya dan kambing yang menyendiri. Maka janganlah kamu memisahkan diri dari jamaah, hendaklah kamu berjamaah, bersama orang banyak dan senantiasa memakmurkan masjid ”. (HR. Ahmad bin Hanbal). Dalam hadis riwayat Abu ad-Darda’ disebutkan:
“ Ada tiga orang yang berada di suatu kampung atau perkampungan badui, tidak dilaksanakan shalat berjamaah, maka sungguh setan telah menguasai mereka. Maka laksanakan shalat berjamaah, karena sesungguhnya srigala hanya memakan kambing yang memisahkan diri dari jamaah ”. (HR. Abu Daud).
Dipersembahkan untuk ummat oleh Tafaqquh Study Club | Website: www.tafaqquhstreaming.com
“ Sesungguhnya shalat seseorang dengan satu orang lebih utama daripada shalat sendirian. Shalat seseorang bersama dua orang lebih utama daripada shalatnya bersama satu orang. Jika lebih banyak, maka lebih dicintai Allah Swt ”. (HR. Abu Daud).
“ Siapa yang melaksanakan shalat karena Allah Swt selama empat puluh hari berjamaah, ia mendapatkan takbiratul ihram. Maka dituliskan baginya dijauhkan dari dua perkara; dari neraka dan dijauhkan dari kemunafikan ”. (HR. At-Tirmidzi). Dalam hadis ini terdapat keutamaan ikhlas dalam shalat, karena Rasulullah Saw mengatakan: “Siapa yang melaksanakan shalat karena Allah Swt”. Artinya tulus ikhlas hanya karena Allah Swt semata. Makna dijauhkan dari kemunafikan dan azab neraka adalah: dilepaskan dan diselamatkan dari kedua perkara tersebut. Dijauhkan dari kemunafikan, artinya: selama di dunia ia diberi jaminan tidak melakukan perbuatan orang munafik dan selalu diberi taufiq oleh Allah Swt untuk selalu berbuat ikhlas karena Allah Swt. Maka di akhirat kelak ia diberi jaminan dari azab yang menimpa orang munafik. Rasulullah Saw memberi kesaksian bahwa ia bukan orang munafik, karena sifat orang munafik merasa berat ketika akan melaksanakan shalat.
“ Siapa yang melaksanakan shalat Shubuh berjamaah, maka ia berada dalam lindungan Allah Swt ”. (HR. Muslim).
“ Siapa yang melaksanakan shalat Shubuh berjamaah, kemudian ia duduk berzikir hingga terbit matahari, kemudian ia melaksanakan shalat dua rakaat. Maka ia mendapatkan balasan pahala seperti haji dan umrah”. Kemudian Rasulullah Saw mengatakan, “Sempurna, sempurna, sempurna ”. (HR. At-Tirmidzi).
“ Siapa yang melaksanakan shalat Isya’ berjamaah, maka seakan-akan ia telah melaksanakan Qiyamullail setengah malam. Siapa yang melaksanakan shalat Shubuh berjamaah, maka seakan-akan ia telah melaksanakan Qiyamullail sepanjang malam ”. (HR. Muslim).
Dipersembahkan untuk ummat oleh Tafaqquh Study Club | Website: www.tafaqquhstreaming.com
Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: “ Andai manusia mengetahui apa yang ada dalam seruan azan dan shaf pertama, kemudian mereka tidak mendapatkan cara melainkan diundi, mereka pasti akan melakukan undian. Andai mereka mengetahui apa yang ada di dalam Takbiratul-Ihram, pastilah mereka akan berlomba untuk mendapatkannya. Andai mereka mengetahui apa yang ada dalam shalat Isya’ dan shalat Shubuh pastilah mereka akan datang meskipun merangkak ”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Pertanyaan 7: Apakah hukum perempuan shalat berjamaah ke masjid? Jawaban: Ada dua hadits yang berbeda, Hadits Pertama:
Dari Abdullah, dari Rasulullah Saw, beliau bersabda: “ Shalat perempuan di dalam Bait lebih baik daripada shalatnya di dalam Hujr. Shalat perempuan di dalam Makhda’ lebih baik daripada shalatnya di dalam Bait ”. (HR. Abu Daud). Hadits ini menunjukkan makna bahwa perempuan lebih baik shalat di tempat yang jauh dari keramaian.
Hadits Kedua:
Dari Abdullah bin Umar, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: “Janganlah kamu melarang hamba Allah yang perempuan ke rumah-rumah Allah (masjid)”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Pendapat Imam an-Nawawi:
Jika tidak menimbulkan fitnah, perempuan tersebut tidak memakai wangi-wangian (yang membangkitkan nafsu). Rasulullah Saw bersabda: “Janganlah kamu larang hamba Allah yang perempuan ke rumah-rumah Allah (masjid). Hadit ini ini dan yang semakna dengannya jelas bahwa perempuan tidak dilarang ke masjid, akan tetapi dengan syarat-syarat yang disebutkan para ulama dari hadits-hadits, yaitu: tidak memakai wangi-wangian (yang membangkitkan nafsu), tidak berhias (berlebihan), tidak
Dipersembahkan untuk ummat oleh Tafaqquh Study Club | Website: www.tafaqquhstreaming.com
memakai gelang kaki yang diperdengarkan suaranya, tidak memakai pakaian terlalu mewah, tidak bercampur aduk dengan laki-laki dan tidak muda belia^2.
Pendapat Syekh Yusuf al-Qaradhawi: Kehidupan moderen telah membuka banyak pintu bagi perempuan. Perempuan bisa keluar rumah ke sekolah, kampus, pasar dan lainnya. Akan tetapi tetap dilarang untuk pergi ke tempat yang paling baik dan paling utama yaitu masjid. Saya menyerukan tanpa rasa sungkan, “Berikanlah kesempatan kepada perempuan di rumah Allah Swt, agar mereka dapat menyaksikan kebaikan, mendengarkan nasihat dan mendalami agama Islam. Boleh memberikan kesempatan bagi mereka selama tidak dalam perbuatan maksiat dan sesuatu yang meragukan. Selama kaum perempuan keluar rumah dalam keadaan menjaga kehormatan dirinya dan jauh dari fenomena Tabarruj (bersolek ala Jahiliah) yang dimurkai Allah Swt”. Walhamdu lillah Rabbil’alamin^3.
Pertanyaan 8: Bagaimanakah cara meluruskan shaf? Jawaban:
Dari Anas, dari Rasulullah Saw, beliau bersabda: “ Luruskanlah shaf (barisan) kamu, sesungguhnya aku melihat kamu dari belakang pundakku ”. Salah seorang kami merapatkan bahunya dengan bahu sahabatnya, kakinya dengan kaki sahabatnya”. (HR. al-Bukhari). Rapat dan putusnya shaf bukan hanya sekedar barisan shalat, akan tetapi kaitannya dengan hubungan kepada Allah Swt, karena Rasulullah Saw bersabda:
“ Siapa yang menyambung shaf, maka Allah Swt menyambung hubungan dengannya dan siapa yang memutuskan Shaff, maka Allah memutuskan hubungan dengannya ”. (HR. Abu Daud, an-Nasa’i, Ahmad dan al-Hakim). Shaf juga berkaitan dengan hati orang-orang yang akan melaksanakan shalat, Rasulullah Saw bersabda:
Dari al-Barra’ bin ‘Azib, ia berkata: “Rasulullah Saw memeriksa celah-celah shaf dari satu sisi ke sisi lain, Rasulullah Saw mengusap dada dan bahu kami seraya berkata: “Jangan sampai tidak lurus, menyebabkan hati kamu berselisih”. Kemudian Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya Allah dan para malaikat bershalawat untuk shaf-shaf terdepan”. (HR. Abu Daud). Makna shalawat dari Allah Swt adalah limpahan rahmat dan ridha-Nya. Makna shalawat dari malaikat adalah permohonan ampunan.
(^2) Imam an-Nawawi, Syarh an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim : 4/161. (^3) Yusuf al-Qaradhawi, Fatawa Mu’ashirah , 1/318.
Dipersembahkan untuk ummat oleh Tafaqquh Study Club | Website: www.tafaqquhstreaming.com
Jawaban:
Syekh Abu Bakar al-Jaza’iri menyebutkan dalam al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah :
Sesungguhnya yang dianggap dalam niat itu adalah hati, ucapan lidah bukanlah niat, akan tetapi membantu untuk mengingatkan hati, kekeliruan pada lidah tidak memudharatkan selama niat hati itu benar, hukum ini disepakati kalangan Mazhab Syafi’I dan Mazhab Hanbali. Sedangkan menurut Mazhab Maliki dan Hanbali -lihat menurut kedua Mazhab ini pada footnote-:
Mazhab Maliki dan Hanafi: Melafazkan niat tidak disyariatkan dalam shalat, kecuali jika orang yang shalat itu was-was.
Mazhab Maliki: Melafazkan niat itu bertentangan dengan yang lebih utama bagi orang yang tidak was- was, dianjurkan melafazkan niat bagi orang yang was-was.
Mazhab Hanafi: Melafazkan niat itu bid’ah, dianggap baik untuk menolak was-was^6.
Pertanyaan 12: Bilakah waktu berniat?
Jawaban:
Tiga mazhab sepakat, yaitu Mazhab Maliki, Hanafi dan Hanbali bahwa sah hukumnya jika niat mendahului Takbiratul-Ihram dalam waktu yang singat.
Berbeda dengan Mazhab Syafi’I , mereka berpendapat: niat mesti beriringan dengan Takbiratu-Ihram, jika ada bagian dari Takbiratul-Ihram yang kosong dari niat, maka shalat itu batal^7.
Pertanyaan 13: Apakah batasan mengangkat kedua tangan ketika Takbiratul-Ihram?
(^6) Syekh Abu Bakar al-Jaza’iri, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah , juz.1, hal.231. (^7) Syekh Abu Bakar al-Jaza’iri, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah , juz.1, hal.237.
Dipersembahkan untuk ummat oleh Tafaqquh Study Club | Website: www.tafaqquhstreaming.com
Jawaban:
Ada dua batasan menurut Sunnah;
Pertama : Mengangkat kedua tangan hingga sejajar dengan daun telinga, berdasarkan hadits:
Dari Malik bin al-Huwairit Apabila Rasulullah Saw bertakbir, ia mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan telinganya,
Ketika ruku’ Rasulullah Saw mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan kedua telinganya,
Ketika bangkit dari ruku’ Rasulullah Saw mengucapkan: sami’allahu liman hamidahu (Allah mendengar orang yang memuji-Nya) beliau melakukan seperti itu (mengangkat tangan hingga sejajar dengan telinga). (HR. Muslim).
Kedua : Mengangkat kedua tangan sejajar dengan kedua bahu, berdasarkan hadits:
“Sesungguhnya Rasulullah Saw mengangkat kedua tangannya sejajar dengan bahunya keika ia membuka (mengawali) shalat”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Pertanyaan 14: Berapa posisi mengangkat kedua tangan dalam shalat?
Jawaban:
Mengangkat kedua tangan pada empat posisi:
Berdasarkan hadits:
Dipersembahkan untuk ummat oleh Tafaqquh Study Club | Website: www.tafaqquhstreaming.com
Mazhab Syafi’i: Dianjurkan memposisikan kedua tangan tersebut di bawah dada di atas pusar, miring ke kiri, karena hati berada pada posisi tersebut, maka kedua tangan berada pada anggota tubuh yang paling mulia, mengamalkan hadits Wa’il bin Hujr: “Saya melihat Rasulullah Saw shalat, ia meletakkan kedua tangannya di atas dadanya, salah satu tangannya di atas yang lain”. Didukung hadits lain riwayat Ibnu Khuzaimah tentang meletakkan kedua tangan menurut cara ini.
Mazhab Maliki: Dianjurkan melepaskan tangan (tidak bersedekap) dalam shalat, dengan lentur, bukan dengan kuat, tidak pula mendorong orang yang berada di depan karena akan menghilangkan khusyu’. Boleh bersedekap dengan memposisikan tangan di atas dada pada shalat Sunnat, karena boleh bersandar tanpa darurat. Makruh bersedekap pada shalat wajib, karena orang yang bersedekap itu seperti seolah-olah ia bersandar, jika seseorang melakukannya bukan untuk bersandar akan tetapi karena ingin mengikuti sunnah, maka tidak makruh. Demikian juga jika ia melakukannya tidak dengan niat apa-apa.
Pendapat yang Rajih (kuat) dan terpilih bagi saya (Syekh Wahbah az-Zuhaili) adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama: meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri, inilah yang disepakati. Adapun hakikat Mazhab Maliki yang ditetapkan itu adalah untuk memerangi perbuatan orang yang tidak mengikuti sunnah yaitu perbuatan mereka yang bersedekap untuk tujuan bersandar, atau untuk memerangi keyakinan yang rusak yaitu prasangka orang awam bahwa bersedekap itu hukumnya wajib^8.
Pertanyaan 16: Apakah hukum membaca doa Iftitah?
Jawaban:
(^8) Syekh Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu : 2/62-63.
Dipersembahkan untuk ummat oleh Tafaqquh Study Club | Website: www.tafaqquhstreaming.com
Mazhab Maliki: Makruh hukumnya membaca doa iftitah. Orang yang melaksanakan shalat langsung bertakbir dan membaca al-Fatihah, berdasarkan riwayat Anas bin Malik, ia berkata: “Rasulullah Saw, Abu Bakar dan Umar mengawali shalat dengan Alhamdulillahi Rabbil’alamin”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Jumhur Ulama: Sunnat hukumnya membaca doa Iftitah setelah Takbiratul-Ihram pada rakaat pertama. Ini pendapat yang Rajih (kuat) menurut saya (Syekh Wahbah az-Zuhaili. Bentuk doa Iftitah ini banyak. Doa pilihan menurut Mazhab Hanafi dan Hanbali adalah:
سُبْحَا َك َ الل اَّل ُم اَّل و َِبَِمْدِؾ َ وَتػَبَارَؾ َ اشتُْك َ وَتػَعَاذل َ جَدُّؾ َ وَال َ إِلَو َ اَيػ ْ ُؾَ
“Maha Suci Engkau ya Allah dan dengan pujian-Mu, Maha Suci nama-Mu dan Maha Tinggi keagungan- Mu, tiada tuhan selain Engkau”. Berdasarkan riwayat Aisyah, ia berkata: “Rasulullah Saw ketika mengawali shalat, beliau membaca: “Maha Suci Engkau ya Allah dan dengan pujian-Mu, Maha Suci nama-Mu dan Maha Tinggi keagungan-Mu, tiada tuhan selain Engkau”. (HR. Abu Daud dan ad- Daraquthni dari riwayat Anas. Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasa’I, Ibnu Majah dan Ahmad dari Abu Sa’id. Muslim dalam Shahih-nya: Umar membaca doa ini dengan cara jahar [Nail al-Authar: 2/195])^9.
Pendapat pilihan dalam Mazhab Syafi’I adalah bentuk doa:
ُ ْ ِ ِ َ إِف اَّل صَالَتِى ِ َ مسلما ً وَمَا أ َ َا مِن َ الْم ََنِيفًا وَج اَّل ْت ُ وَج ْ ِى َ لِل اَّل ِى فَط َ َ الساَّلمَوَات ِ وَاألَرْض
ِ َ ال َ ش َ ِ ك َ لَو ُ وَب ِ َلِك َ أُم ِ ْت ُ وَأ َ َا مِن َ الْمُسْلِم و َ ُسُكِى وَػتَْيَاى َ وَؽتََاتِى لِلاَّلو ِ رَب ِّد الْعَالَم
“Aku hadapkan wajahku kepada Dia yang telah menciptakan langit dan bumi, aku condong kepada kebenaran, berserah diri kepada-Nya, aku tidak termasuk orang-orang musyrik. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, matiku hanya untuk Allah Rabb semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya, dengan itulah aku diperintahkan, aku termasuk orang-orang yang berserah diri (muslim)”. Berdasarkan riwayat dari Ahmad, Muslim dan at-Tirmidzi, dinyatakan shahih oleh at-Tirmidzi, diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib^10.
Pertanyaan 17: Adakah bacaan Iftitah yang lain?
Jawaban:
(^9) Syekh Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu : 2/62-63. (^10) Syekh Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu : 2/65.